Pancasila Sebagai  Nilai-Nilai Demokratis Dalam Kehidupan Bangsa & Negara

 Abd Mu’id Aris Shofa[1]

Abstract

After new orda finished, it was appeared politics opinion related with Pancasila understanding as a knowledge system and its implementation in democracy life. That oponion based on unknown sources, however that statement produce sarcastic, satire, or derisions. So everything the reason shows that the lack of knowledge about Pancasila happened in around us. This article inform us about values it can catch up from Pancasila

Key Words: Pancasila, Reform, Democracy

Pluralitas bangsa  merupakan realitas dalam komunitas indonesia yang tak mungkin dipungkiri dan dihindari, bangsa Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, ratusan bahasa, suku, bangsa dan agama. Kondisi ini merupakan berkah dan hikmah apabila kita mampu mengaransemennya dalam sebuah keterpaduan yang menghasilkan keindahan dan kekuatan, tetapi juga bisa menjadi musibah disintregasi bangsa  manakala pluralitas itu tidak terakomodasi dengan baik. Oleh karena itu, dapat dimengerti jika desain dari pendirian bangsa dan negara republik indonesia adalah untuk mewujudkan sebuah negara kebangsaan “ yang bersifat demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan”. Sebab para The founding fathers bangsa Indonesia ini meyakini bahwa hanya melalui sebuah negara kebangsaan, demokrasi, keadilan sosial, dan perikemanusiaan (HAM) yang kemudian dipadu dengan kesadaran berketuhanan Yang Maha Esa, kemajemukan pluralitas bangsa ini bermakna positif. Seperti cuplikan pidato Bung Karno pada tanggal 1 juni 1945, “ Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “ semua buat semua, satu buat semua, semua buat semua”.

Bangsa Indonesia yang memiliki ciri multi-etnis sudah tidak lagi memiliki filosofi sebagai norma fundamental dari nilai-nilai dalam kehidupan bersama, sementara pengaruh global semakin kuat menerpa bangsa Indonesia. Akibatnya integrasi antar etnis dalam kehidupan kebangsaan di Indonesia pudar bahkan hampir runtuh. Berbagai fakta masih teringat dalam fikiran kita, seperti tragedi konflik antar etnis di Sampit antara suku Dayak dengan Madura, kasus Sambas serta gerakan kelompok separatis seperti Organisasi Papua Merdeka, RMS, dan GAM. Kasus SARA lainnya seperti konflik di Ambon, kasus pembakaran masjid Ahmadiyah dan Pembakaran Gereja. Bahkan belakangan juga muncul lagi kasus NII yang sempat menghebohkan bangsa indonesia di tahun 1959-1962 yaitu ingin merubah ideologi dan dasar negara Indonesia dan menjadikan Negara Islam Indonesia. kenyataan itu sebagai wujud kongkrit akibat lemahnya pemahaman terhadap filosofi dan ideologi bangsa, dan terlebih lagi akibat dari perkembangan situasi politik Indonesia yang semakin jauh dari nilai-nilai kebangsaan dan etika politik yang sehat. Oleh sebab itu mari kita coba untuk menggali lagi tentag makna Pancasila sebagai nilai dasar fundamental bangsa dan negara, selain itu kita bisa melihat eksistensi Pancasila sebagai pemersatu dalam keanekaragaman kehidupan masyarakat Indonesia dan demokrasi separti apa yang dicita-citakan oleh masyarakat untuk mencapai dinamika politik yang sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila.

Pancasila sebagai Nilai Dasar Fundamental bagi Bangsa dan Negara RI

Nilai-nilai pancasila bersifat universal yang memperlihatkan nafas humanisme, karenanya Pancasila dapat dengan mudah diterima oleh siapa saja. Sekalipun Pancasila memiliki sifat universal, tetapi tidak begitu saja dapat diterima oleh semua bangsa. perbedaannya terletak pada fakta sejarah bahwa nilai-nilai secara sadar dirangkai dan disahkan menjadi satu kesatuan yang berfungsi sebagai basis perilaku politik dan sikap moral bangsa. dalam arti bahwa pancasila adalah milik khas bangsa Indonesia dan sekaligus menjadi identitas bangsa berkat legitimasi moral dan budaya bangsa Indonesia sendiri, karena Pancasila itu digali dari nilai-nilai luhur yang terkandung dan hidup dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Nilai-nilai khusus yang termuat dalam Pancasila dapat ditemukan dalam sila-silanya, (menurut Ujan dalam Syahbaini, 2003) yaitu sebagai Berikut.

sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, pada dasarnya memuat pengakuan eksplisit akan eksistensi Tuhan sebagai sumber dan pencipta Universum. Pengakuan ini sekaligus memperlihatkan relasi esensial antara yang mencipta dan yang diciptakan serta menunjukan ketergantungan yang diciptakan terhadap yang menciptakan. Bagi kita dan dalam negara Indonesia tidak boleh ada pertentangan dalam hal Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti Ketuhanan Yang Maha Esa dan anti keagamaan, dan yang seharusnya ada ialah Ketuhanan Yang Maha Esa (monotheisme) dengan toleransi beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Sebagai sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sumber pokok nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia, menjiwai dan mencari serta membimbing perwujudan kemanusiaan yang adil dan beradab, penggalangan persatuan Indonesia yang telah membentuk negara Indonesia yang telah berdaulat penuh, yang bersifat kerakyatan dan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab, sesungguhnya merupakan refleksi lebih lanjut dari sila pertama. Sila ini memperlihatkan secara mendasar dari negara atas martabat manusia dan sekaligus komitmen untuk melindunginya. Asumsi dasar dibalik prinsip kedua ini ialah  manusia, karena kedudukannya yang khusus di antara ciptaan-ciptaan lainnya didalam Universum, mempunyai hak dan kewajiban untuk mengembangkan kesempatan untuk meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Dengan demikian, manusia secara natural dengan akal dan budinya mempunyai kewajiban untuk mengembangkan dirinya menjadi person yang bernilai. Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah sikap dan perbuatan manusia yang sesuai dengan kodrat hakikat manusia yang sopan dan nilai kesusilaan. Di dalam sila kedua ini telah disimpulkan cita-cita kemanusiaan yang lengkap, yang adil dan beradab memenuhi seluruh hakikat mahluk manusia. Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah suatu rumusan sifat keluhuran budi manusia. Hakikat pengertian diatas sesuai dengan pembukaan UUD 1945 alinea pertama: “ Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan….”.

Sila ketiga: Persatuan Indonesia, secara khusus meminta perhatian setiap warga negara akan hak dan kewajiban dan tanggung jawabnya pada negara, khususnya dalam menjaga persatuan dan kesatuan seluruh masyarakat Indonesia demi menjaga eksistensi bangsa dan negara. Persatuan disini mencakup persatuan dalam arti ideologis, politik, ekonomi sosial budaya dan keamanan. Persatuan Indonesia merupakan faktor yang dinamis dalam kehidupan bangsa Indonesia, bertujuan, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mewujudkan perdamaian dunia yang abadi,  Karena itu paham kebangsaan Indonesia tidak sempit (chauvinistis), tetapi juga menghargai bangsa lain. Nasionalisme Indonesia mengatasi paham golongan, suku bangsa, serta keturunan.

Sila keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, memperlihatkan pengakuan negara serta perlindungannya terhadap kedaulatan rakyat yang dilaksanakan dalam iklim musyawarah dan mufakat. Dalam iklim keterbukaan untuk saling mendengarkan, mempertimbangkan satu sama lain, dan juga sikap belajar serta saling menerima dan memberi. Hal ini berarti bahwa setiap orang diakui dan dilindungi haknya untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik. Dengan sila keempat berarti bahwa bangsa Indonesia menganut demokrasi, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Dalam sila keempat ini menegaskan bahwa kekuasaan yang tertinggi berada ditangan rakyat. kerakyatan disebut pula kedaulatan rakyat. Hikmat kebijaksanaan berarti penggunaan pikiran atau rasio yang sehat dengan selalu mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan dilaksanakan dengan sadar, jujur, dan bertanggung jawab serta didorong dengan itikad baik sesuai dengan hati nurani. Permusyawaratan adalah suatu tata cara khas kepribadian Indonesia untuk merumuskan dan atau memutuskan suatu hal berdasarkan kehendak rakyat, hingga tercapai keputusan yang berdasarkan kebulatan pendapat atau mufakat. Perwakilan adalah suatu sistem dalam arti tata cara (prosedur) mengusahakan turut sertanya rakyat mengambil bagian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui lembaga perwakilan.

Sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia, secara istimewa menekankan keseimbangan hak dan kewajban. Setiap warga negara harus bisa menikmati keadilan secara nyata, tetapi iklim keadilan yang merata hanya bisa dicapai apabila struktur sosial masyarakat sendiri adil. Keadilan sosial terutama menuntut informasi struktur-struktur sosial, yaitu dalam bidang ekonomi, politik, hukum, budaya dan keamanan. Serta ideologi ke arah yang lebih akomodatif terhadap kepentingan masyarakat. Disamping itu juga keadilan sosial mengandung arti yaitu tercapainya keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan masyarakat. Karena kehidupan manusia itu meliputi kehidupan jasmani dan rohani, maka keadilan itu pun meliputi keadilan dalam memenuhi tuntutan dalam kehidupan jasmani dan tuntutan dalam kehidupan rohani secara seimbang.

Pemersatu Dalam Keanekaragaman

Tentunya kita masih ingat dengan adagium yang berbunyi “ Bersatu kita memang teguh, dan bercerai kita runtuh”. Pernyatan itu jelas tidaklah salah. Masalahnya adalah selama ini kita menjadi apatis terhadap “sisi lain”,  yaitu kenyataan yang lebih penting dan sebenarnya lebih mendasar, bahwa kita ini memang berasal dari asal usul yang berbeda, Karena cara pandang yang hanya sebelah itu pula, sejak lama kehidupan kita terbentuk menjadi homogen dan tidak bisa menerima suatu perbedaan yang nyata/heterogenitas sosial budaya kita. Kata “bhineka” lebih hidup dalam simbol, tetapi hampir tanpa makna yang benar-benar diresapi.

Banyak yang tidak menyadari ketika kemudian, justru di era reformasi ketika kita menganggap bisa bebas berbicara tentang apa yang kurang baik dan tentang bagaimana mestinya sesuatu harus diselenggarakan, serta ketika kita mengembangkan cara penyelenggaraan pemerintahan yang tidak sentralistik dan lebih memberi otonomi yang nyata kepada daerah khususnya kabupaten dan kota kita malahan menjadi saling berhadapan untuk mencari menang, atau sekedar memperoleh yang lebih banyak lagi.

Dalam kondisi seperti itu pula, kita banyak menyaksikan bagaimana benturan-beturan antar golongan dan etnik kemudian “tampil dalam bentuk dan kodratnya yang asli”. Kita kemudian tersinggung, cepat marah dan rela bermusuhan hanya demi sebuah eksistensi suatu golongan atau etnik, bahkan kalau perlu saling memusnahkan antar golongan dan etnik, atau yang lebih menyedihkan lagi adalah kita memisahkan diri dan keluar dari persatuan dan kesatuan kita. Kita merasa sangat sedih, dan bertanya-tanya, bagaimana kita bisa menjadi seperti itu. Kalaupun masih ada yang percaya dengan apa yang dinamakan hikmat, maka pelajaran itulah yang menyadarkan kita, betapa senyatanya heterogenitas, bahwa kebhinekaan dengan berbagai perbedaan yang terkandung adalah sesuatu yang nyata dan merupakan realitas yang tidak bisa dipungkiri dan harus dihadapi.

Kita memperoleh pelajaran tentang satu hakekat, yang sesungguhnya telah ada sejak paham kebangsaan itu ditebar di tanah air kita. Bahwa kita memang berasal dari sesuatu yang banyak, dan penuh dengan perbedaan saja, malahan hanya menuntun kita masing-masing untuk tidak saling mengenal satu sama lain. Kita belajar sesuatu yang lebih penting lagi, yaitu mengenal apa yang harus diakui dan dihormati, mengenal apa yang harus dirawat dengan hati-hati, dan menjembatani perbedaan-perbedaan untuk menjadi satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan. Ketika dahulu paham kebangsaan ditebarkan dengan harapan dapat mengekalkan persatuan dan kesatuan dalam menghadapi tantangan penjajahan, untuk membangun satu bangsa yang utuh dan kuat, dan hidup dalam satu “NKRI”, ternyata pada saat yang sama juga menyimpan ancaman. Dan pertanyaannya sekarang adalah apa ancaman itu? Ternyata ancaman itu adalah bahaya bahwa tantangan terhadap persatuan dan kesatuan, tantangan terhadap satu NKRI bisa saja berasal dari dalam, yaitu dari kebhinekaan itu sendiri.

Cita-Cita Masyarakat Demokrasi

Masyarakat yang demokratis adalah kehidupan bersama di mana setiap warga, tanpa memandang latar belakang biologis dan sosial, memiliki martabat sebagai mahluk manusia yang bebas. Martabat sebagai manusia bebas ini melahirkan manusia dengan segala hak-haknya, khususnya hak untuk memiliki keyakinan dan tidak bisa diubah secara paksa oleh siapapun juga.

Masyarakat demokratis akan memiliki pemerintahan yang demokratis pula, yang bersandarkan pada kekuasaan dan bersumber pada kemampuan serta pengetahuan masyarakat. Oleh karena itu, setiap pemerintahan demokratis akan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi warga bangsa untuk memperoleh pendidikan. Sebab, semakin tinggi tingkat pendidikan warga bangsa, semakin kuat dan kokoh pemerintahan yang demokratis. Dalam masyarakat demokratis, lahir kesadaran bahwa kekuasaan akan aman apabila berada di tangan rakyat sendiri. Di samping itu, muncul pula kesadaran bahwa wewenang dan tugas-tugas pemerintahan tertentu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan tertentu pula. Dalam banyak hal, jabatan dan tugas-tugas tertentu tersebut akan mempengaruhi kebijakan pemerintah yang pada gilirannya akan mempengaruhi kehidupan masyarakat luas. Dan warga masyarakat merelakan itu semua sepanjang kebijakan pemerintah tersebut tidak mencabut kebebasan, otonomi, dan martabatnya.

Ide pokok yang sebenarnya dari demokrasi menurut John Dewey dalam (Zamroni, 2005: 192), adalah pandangan hidup sebagaimana tercermin pada perlunya partisipasi warga yang sudah dewasa untuk membentuk nilai-nilai yang mengatur kehidupan bersama. Kehidupan bersama dalam alam demokrasi adalah kehidupan bersama yang penuh dengan “ Tepo seliro”, yaitu perilaku seseorang yang senantiasa dalam bersikap dan bertindak memperhitungkan perasaan orang lain. Disamping itu, Dewey juga menekankan bahwa demokrasi merupakan suatu keyakinan, suatu prinsip pertama dan paling utama, yang harus dijabarkan dan dilaksanakan secara sistematis dalam satu bentuk aturan sosial politik, berdasarkan pernyataan ini, sesungguhnya demokrasi itu bukan sekedar ide yang menyangkut bentuk pemerintahan, melainkan lebih utama dari itu. Demokrasi adalah suatu bentuk kehidupan bersama dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kehidupan bersama yang berdasarkan demokrasi tersebut memerlukan: (1) Suatu visi dan kode etik yang dijabarkan secara formal dalam hukum dan undang-undang yang dipatuhi oleh setiap warga negara. (2) sistem hukum yang bersifat mandiri, adil, dan objektif. (3) sistem pemerintahan yang menghargai ha-hak setiap masyarakatnya. (4) tidak membedakan masyarakat dalam struktur sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan, disamping itu juga memberikan kesempatan yang adil kepada semua warga untuk melakukan mobilitas sosial. (5) kebebasan berpendapat dan berserikat benar-benar di jamin dan di lindungi oleh bangsa dan negara. (6) kebebasan untuk menentukan pilihan secara bebas dan adil tanpa ada paksaan dan intervensi dari pihak manapun.

Bentuk masyarakat demokratis tersebut akan tumbuh kokoh dalam masyarakat yang memiliki kultur kebhinekaan dan nilai-nilai demokrasi, seperti: toleransi, menghormati perbedaan pendapat, memahami dan menyadari keanekaragaman msyarakat, terbuka dalam komunikasi, menjunjung tinggi nilai-nilai dan martabat manusia, mampu mengekang diri sehingga tidak mengganggu orang lain, kebersamaan dan keseimbangan kemanusiaan, percaya diri tidak bergantung pada orang lain, serta saling menghargai. Dalam perspektif pendidikan, demokrasi dapat dipahami sebagai suatu proses yang dilakukan warga masyarakat dalam rentang waktu panjang, yang dijiwai oleh semangat kehidupan berkeadilan, persaudaraan, serta bermartabat, dan Demokrasi merupakan suatu learning process bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara didalam sebuah pluralitas.

 

Pancasila dalam Dinamika Politik

Pancasila diharapkan dapat menjadi matriks atau kerangka referensi untuk membangun suatu model masyarakat atau untuk memperbaharui tatanan sosial-budaya . menurut Sastrapratedja dalam(Siswoyo, 2008) ada dua fungsi dari pancasila sebagai kerangka acuan: pertama, pancasila menjadi dasar visi yang memberi inspirasi untuk membangun suatu corak tatanan sosial-budaya yang akan datang, membangun visi masyarakat indonesia di masa yang akan datang; dan kedua, pancasila sebagai nilai-nilai dasar menjadi referensi kritik sosial-budaya.

Ada perkembangan baru yang menarik berhubung dengan dasar negara kita. Dengan kelima prinsipnya pancasila memang menjadi dasar yang cukup integratif bagi kelompok-kelompok politik yang cukup heterogen. Dan salah satu ancaman yang paling membahayakan adalah adanya money politics yang bisa menciderai dari prinsip-prinsip demokrasi, karena untuk terlaksananya pemilihan yang bebas dan adil, setiap pemilih harus memiliki suara dan memiliki kesempatan untuk mengevaluasi serta menentukan pilihannya sendiri berdasarkan program dan ide yang dimiliki oleh kandidat atau partai. Tetapi, dengan adanya money politics, bukan ide atau program yang menentukan pemenang, melainkan dana yang dimiliki oleh partai atau donaturnya, money politics ini juga melahirkan berbagai fenomena politik, seperti tuntutan pendukung partai berbeda dengan sikap para wakil-wakilnya di lembaga perwakilan, sudah barang tentu, kondisi demikian ini bukan merupakan pendidikan politik, bahkan sebaliknya yaitu mendidik dan memberikan bukti bahwa politik itu kotor, karena hanya menjadi sarana seseorang guna memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri.

Dalam kehidupan politik masalah itu tidak muncul baru-baru ini, akan tetapi jauh di era 1960-an , dalam suasana kompetisi atau jor-joran sikap revolusioner diantara kekuatan politik masa itu, salah satu di antara kekuatan politik tersebut bahkan pernah mengungkap pandangan politiknya, bahwa kalau persatuan nasional telah dapat terwujud, maka pancasila sebagai alat pemersatu tidak lagi diperlukan. Pancasila yang sedari awal diperkenalkan dan dirancang-bangun-sosial sebagai perekat persatuan dan kesatuan di antara kebhinekaan suku, etnisitas, asal-usul, antar golongan dan lain-lain perbedaan yang luar biasa ini. Tiba-tiba dan seolah-olah hilang tanpa bekas ketika anak bangsa di abad ini dengan sadar masuk dalam era gontok-gontokan nasional dan saling mengancam untuk keluar dari kehidupan keluarga bangsanya hanya karena perbedaan pandangan politik. Pancasila seakan-akan tertinggalkan justru ketika persatuan bangsa dan keutuhan NKRI terancam perpecahan.

Untuk mengatasi permasalahan di bidang politik, tidak ada jawaban lain kecuali bahwa kita harus mengembangkan sistem politik yang benar-benar demokratis sesuai dengan azas Pancasila, dan sikap bias terhadap Pancasila yang selama ini banyak ditampilkan, terutama yang memungkinkan berlangsungnya ketidakjelasan pandangan dan sikap ideologis terhadap Pancasila, sebaiknya dihentikan. Pengakhiran keadaan tersebut sama sekali tidak perlu harus mempengaruhi kebulatan tekad untuk melakukan pembaharuan atau reformasi seluruh aspek kehidupan nasional. Di bidang politik ini, kita dapat menetapkan arah dan prioritas secara lebih jelas dalam agenda reformasi kita, menentukan sasaran dengan lebih realistik, dengan tahapan capaian yang lebih jelas. Salah satunya, kembali ke kithah dan menegaskan kembali pandangan dan sikap politik kita mengacu kepada nilai-nilai luhur Pancasila, sebagai dasar negara dan ideologi bangsa.

Penutup

Dalam era reformasi dewasa ini seharusnya bangsa indonesia bersyukur kepada Tuhan YME, disertai dengan upaya untuk menata kembali pelaksanaan kenegaraan yang dijiwai oleh nilai-nilai filosofi bangsa Indonesia, yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Dalam kenyataannya reformasi mengarah pada kebebasan yang tidak memiliki arah yang jelas, sehingga demokrasi yang seharusnya menghasilkan kehidupan kenegaraan yang sejahtera justru terdistorsi ke kancah anarki, serta semakin merosotnya kesejahteraan rakyat. Akibatnya, dewasa ini bangsa Indonesia kehilangan kepercayaan diri, bahkan proses reformasi yang telah berjalan lebih dari sepuluh tahun, belum menunjukan ke arah tanda-tanda yang lebih baik untuk rakyat Indonesia. Dalam kondisi seperti ini persatuan dan kesatuan bangsa semakin rapuh, isu HAM, demokrasi, kebebasan dan terorisme menjadi stigma yang strategis bagi negara-negara kapitalis internasional untuk menguasai negara-negara yang sedang berkembang dewasa ini.

Demokrasi di Indonesia masih berada dalam proses transisi dari sistem politik otoriter menuju sistem demokrasi yang ideal. Berbagai problem dan tantangan akan muncul dalam proses tersebut. Suatu strategi amat diperlukan untuk mengendalikan dan melewati transisi, sehingga bangsa Indonesia segera dapat memasuki masyarakat demokratis yang dicita-citakan. Dan untuk mencapai semua itu maka paling tidak dapat dikatakan bahwa pendidikan  merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam pengembangan demokrasi. Karena pendidikan itulah yang mampu memberikan pengetahuan bagi warga masyarakat untuk memahami esensi konsep-konsep dan teori sosial, mengembangkan self-efficacy, toleransi, dan sosial trust yang amat diperlukan bagi kehidupan suatu bangsa.

Oleh karena itu marilah kita mulai bangun rasa komitmen kita untuk mempertahankan negara Proklamasi 17 Agustus 1945, Identitas nasional serta filosofi  bangsa Indonesia, maka harus segera melakukan revitalisasi dan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila yang dilanjutkan dengan implementasi dan kontekstualisasi dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini sebenarnya bukan persoalan yang mudah, karena di samping semangat dan kondisi sosial politik negara dan bangsa Indonesia dewasa ini, juga hal itu memerlukan keterlibatan berbagai pihak terutama kalangan intelektual untuk memiliki rasa tanggung jawab moral terhadap karya besar bangsa. Semoga.

 

Daftar Pustaka

 Fadjar, Mukthie. 2003. Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Paradigmatik.     Malang: In-trans.

Kaelan. 2007. Revitalisasi dan Reaktualisasi pancasila Sebagai Dasar Filsafat dan Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia. Yogyakarta: Badan Penerbitan Filsafat UGM.

Kesowo, Bambang. 2007. Kontekstualisasi dan Implementasi Pancasila Dalam Bidang Politik dan Pemerintahan. Yogyakarta: Badan Penerbitan Filsafat UGM.

Siswoyo, Dwi. 2008. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Bangsa. Yogyakarta: UNY Press.

Syarbaini, syahrial. 2003. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Zamroni. 2005. Demokrasi dan Pendidikan Dalam transisi, perlunya reorientasi pengajaran ilmu-ilmu sosial di sekolah menengah. Jakarta: Pusat studi dan Peradaban Muhammadiyah.

Lahirnya Pancasila. 2002. Pidato bung Karno di Depan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai Tanggal 1 Juni 1945. Jakarta: Badiklatpus PDI Perjuangan.


[1]Mahasiswa Hukum dan Kewarganegaraan, Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Angkatan 2008 FIS UM. E-mail yang bisa dihubungi AdheqShofa@yahoo.com