Hill, DT. 2011. Pers di Masa Orde Baru (Penerjemahy: Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 232 hlm + Soft Cover

 

Pers dalam Perlawanan dan Penekanan Orde
Baru[1]

 

Anggaunitakiranantika[2]

 Masyarakat senantiasa hidup dalam dinamika sosial yang dinamis, utamanya bagi masyarakat
pers yang selalu menemui rintangan dan halangan untuk mengukuhkan identitasnya
dalam konteks nasionalisme. Berbagai masalah menarik yang patut disimak dalam
buku ini antara lain:

  • Konteks pers dan dunia jurnalistik sebagai
    sebuah industri yang hebat;
  • Peran pers bagi masyarakat kala era Bung
    Karno hingga pemerintahan Pak Harto;
  • Eksistensi pers dan jurnalis di tengah
    berbagai kecaman dan intervensi dari pemerintah dan kroni-kroninya;
  • Mekanisme bertahan (survival) yang dilakukan oleh pers demi masing-masing misi yang
    diemban.
  • Konflik internal yang muncul dari
    kalangan internal yang berujung pada merger dan akusisi.

Penekanan luar biasa yang dilakukan oleh pemerintah, utamanya pada rezim pemerintahan
Soeharto, terhadap pers diulas sangat jelas dalam buku ini. Dominasi kekuasaan
yang luar biasa telah dilakukan oleh Soeharto dan segenap kroninya terhadap
media massa yang terbit. Profesi jurnalis bukan lagi mencari dan mendapatkan
berita yang terkini maupun terbaru yang berimbang sesuai fakta berikut kondisi
yang ada, melainkan untuk mencari dan mendapatkan berita yang aman. Disusul pula
tidak menyinggung dan mengkritisi segala sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah
saat itu. Selain itu, pers dan dunia jurnalistik juga harus menjadi
“Corong Pemerintah”, yakni menjadi alat kendali pemerintah untuk arus
informasi yang berkembang di dalam masyarakat. Tidak ketinggalan, pers dan
jurnalistik menjadi sarana pencitraan diri secara positif dari pemerintah
terhadap khalayak luas dan senantiasa menghapuskan prasangka buruk dari
masyarakat terhadap pemerintah. Oleh karena itu, pada era tahun 1970-1990,
pemerintah mencengkeram kuat struktur organisasi pers dan jurnalistik dengan
cara turut serta berperan di dalamnya sebagai jajaran eksekutif untuk
mengendalikan laju informasi terhadap pembaca di masyarakat.

Gelombang pemberedelan, pencabutan izin penerbitan, dan menjadi penghuni prodeo adalah
konsekuensi yang sangat lumrah bagi dunia jurnalistik di kala itu yang bergerak
radikal, kritis, serta tidak berhati-hati menuliskan berita. Peraturan dan
perundang-undangan pers yang dibuat oleh pemerintah menjadikan pers semakin
tersudut dengan posisinya. Dominasi pemerintahan dengan segala kekuasaan masuk
hingga ranah manajemen media yang tidak seharusnya. Aksi-aksi tidak puas yang
bermunculan dari kalangan pengusaha hingga wartawan semakin meluas, namun
ketidakberdayaan atas “bargaining
position
” (nilai tawar) pada rezim Soeharto jelas membuat kalangan
pers harus mengalah pada pemerintah (walaupun semangat mereka tidak pernah mau
kalah dengan pemerintah).

Secara lengkap dibahas pula dan jelas dalam buku ini mengenai bagaimana cara
pemerintah orde baru dalam mengontrol pers terkait dengan segala organisasi dan
wewenang yang melekat kuat di dalamnya. Lahirnya pers dan media massa sebagai
sebuah industri juga mulai menampakkan geliatnya karena bagaimanapun juga yang
menjalankan gerak roda industri adalah kekuatan pasar, bukanlah otorisasi
pemerintah. Hal tersebut dijelaskan oleh penulis manakala perusahaan pers
kembali bangkit dan memiliki semangat untuk bersaing dalam memperebutkan pangsa
pasar, yaitu pembaca. Perlahan namun pasti, telah terjadi perubahan dalam
industri pers yang ditandai oleh bergesernya kekuasaan dan aparat pemerintahan
kepada elemen yang ada di luar pemerintahan. Kekuatan pasar, akumulasi modal
yang berlimpah ruah, ditambah dengan sistem manajemen yang baik, menyisipkan
cerita lain yang menarik dalam buku ini. Kemunculan konglomerat baru, yang
merupakan orang lama dalam industri pers, hingga munculnya nama baru dari
berbagai kalangan turut mewarnai kisah buku ini.

Adanya pertentangan secara internal dalam industri pers menyangkut masalah kepemilikan
yang semakin terkonsentrasi kepada segelintir orang. Terjadinya akusisi koran
yang berskala kecil terhadap koran yang populer dan berskala nasional pun mulai
marak dilakukan oleh penerbit besar demi memperluas pasar dan memenuhi segmen
pasar. Terjadinya pula dominasi media massa populer terhadap media massa
pinggiran, yang diidentifikasi oleh penulis kepada pers mahasiswa, cetakan
khusus, koran yang berbasis agama, dan golongan. Beberapa hal di atas turut semakin
membuat buku ini semakin menarik untuk dibaca dan dipahami sebagai konteks
perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Pada dekade terakhir orde baru, pelbagai aspek seperti politik, sosial, dan ekonomi
yang terjadi di Indonesia juga mengalami perubahan. Perubahan inilah yang
membawa dampak positif bagi kaum pers yang selama ini terasing (alienasi)
dengan pekerjaan dan produk pemberitaannya. Kontrol yang dilakukan pemerintah
atas pers memang masih ada, namun melemah dibandingkan dengan periode orde baru
yang sebelumnya. Pers dan media dewasa kini dikuasai oleh pemilik modal berikut
pemilik saham yang menandakan bahwa sistem ekonomi pasar tengah berlangsung
serta menuntut hadirnya media-media yang beragam, majemuk, dan terbuka dalam
segala pemberitaannya.

Dalam buku ini, pembahasan yang sangat terinci dan menarik juga digambarkan oleh
penulis tentang industri pers masa depan yang sangat berguna bagi perkembangan
dunia jurnalistik di masa yang akan datang. Adanya kebebasan untuk berekspresi
dan mengeksplorasi kata-kata menjadi sebuah berita yang aktual, menarik, dan
berbobot yang disajikan oleh kawan-kawan media justru sangat diharapkan
sekaligus dinantikan oleh masyarakat Indonesia. Bukan lagi pemberitaan yang
berdasarkan kepada pencitraan seperti sebelumnya. Walaupun dengan berat hati
pemerintah harus “terpaksa” mengakui kedaulatan atas kebebasan pers,
strategi dan usaha  untuk meminimalisir
resiko juga tetap dilakukan oleh industri pers terhadap pemerintah.

Ulasan dengan  bahasa yang jelas, lugas, dan
vulgar namun tetap bersahaja, itulah beberapa kesan yang pembahas dapatkan
selama membaca buku ini. Secara holistik, dengan membaca buku ini, pembaca
dapat mengetahui tentang bagaimana kekuatan dan kekuasaan pemerintah yang tak
terbatas pada zaman pemerintahan orde baru secara represif membungkam ide dan
opini jurnalistik untuk melakukan aktualisasi diri. Segala macam pemberitaan
dipolitisasi dan dikondisikan agar pemerintahan status quo era Soeharto selalu baik, hal-hal di luar itu dianggap
sebagai fitnah dan makar sehingga sangat membahayakan jalannya pemerintahan ke
depan dan harus menerima sanksi tegas berupa pemberedelan dan pencabutan surat
ijin.

Fenomena kolusi dan indikasi korupsi yang melekat kuat di era pemerintahan orde baru
sangat jelas terlihat. Baik terhadap trah keluarga Presiden hingga pada
kroni-kroni orde baru. Penekanan terhadap pers juga dilakukan atas adanya
kepentingan yang sekali waktu dapat memacu konflik di dalamnya. Pada akhirnya,
kebebasan pers yang dinanti menemukan jawabnya yang memang terletak pada
sirkulasi pasar dan segmen pembaca yang membutuhkan sajian berita informatif
tanpa tekanan tendensius dari pemerintah.


[1] Tulisan ini pernah disajikan pada Bedah Buku “Pers di
Masa Orde Baru
” dan “Jurnalisme dan Politik di Indonesia: Biografi Kritis Mochtar Lubis (1922-2004) sebagai
Pemimpin Redaksi dan Pengarang
” karya David T. Hill yang
diselenggarakan oleh BEM FIS UM dan Penerbit Yayasan Obor Indonesia pada 14 Agustus 2011.

[2] Penulis adalah staf pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang