TRANSISI DEMOKRASI DAN PERILAKU PARTAI ISLAM

(Studi Tentang Kemerosotan Perolehan Suara PPP Pasca
Orde Baru)

Yeby Ma’asan Mayrudin[1]

 

Abstract

The
background of the study is inspired by PPP (Partai Persatuan Pembangunan)
problem that the supports from people to the party decreased gradually in
democratic era. The three last election to be focused of the study because in
those events PPP had declined vote from people. The method of the study use
qualitative approach with descriptive design of research. The method of
collecting data use library research and interview with the leader of PPP. The
study found that the causes factor of went down of vote are the effect of
democratization wave, Islamic fragmentations, re-ideology of Islam in PPP, and
the effect of the leader rules.

Key Words: Democracy, Islamic Party, PPP

 

Dengan  fokus pada Partai  Persatuan  Pembangunan
(PPP), penulisan ini  ingin menjawab  pertanyaan  berikut, “Mengapa PPP sebagai  partai
politik Islam di  era  demokratisasi (pasca  runtuhnya  rezim Orde  Baru) terus-menerus
mengalami kemerosotan perolehan suara?”

Pada dasarnya  ciri wacana  politik
abad  ke-20  adalah kenyataan  bahwa hampir
semua  gerakan  politik mengklaimkan  diri mereka bersifat  “demokratis” dan mengembangkan “demokrasi.” Alasan yang mendasari  fenomena ini adalah gagasan  sentral demokrasi,  bahwa  semua kekuasaan  diberikan
oleh  rakyat  dan bahkan  penggunaan kekuasaan  hanya  sah
jika  ia  mewakili kehendak  rakyat. Hampir
setiap  kelompok  politik –dalam hal  ini
partai  politik– tidak  berani
menghindari atau menolak asumsi dasar ini[2].

Meskipun  demikian, demokrasi  bagaikan  pedang
bermata  dua.  Satu sisi matanya  bisa
dipakai menciptakan kemakmuran  dan  perdamaian
dengan  segala aturan  hukum  yang
harus  ditaati  oleh seluruh  warga  negara.
Sementara  kalau tidak hati-hati,  sisi  mata
satunya  dapat  memancing
munculnya  konflik[3]. Akan tetapi, memang demokrasi itu sendiri  menghajatkan
adanya  konflik. Bahkan perbedaan, kompetisi dan konflik harus
berlangsung dalam wadah yang tegak dan terlembaga,  sehingga
tidak  menghancurkan  sistem
politik  secara  keseluruhan. Dengan demikian, demokrasi justru akan mengolah konflik-konflik
yang muncul di  dalam prosedur  dan  mekanisme
politik  yang  terlembaga dan  kemudian menjadikannya  sebagai  konsensus. Seperti fenomena konflik
kepentingan yang memperebutkan  kekuasaan politik, baik  pada eksekutif maupun  legislatif. Oleh karena itu, pada suatu negara demokratis diselenggarakan pemilihan umum untuk mengelola  konflik
menjadi  suatu  yang produktif. Dalam mekanisme
pemilu, partai  politik adalah  satu-satunya
lembaga  yang sah  untuk mengikuti  proses memperebutkan kekuasaan politik tersebut.

Salah  satu implikasi  dari demokratisasi  dan
liberalisasi  politik  tersebut adalah munculnya  partai-partai
politik  dalam  jumlah  yang  luar  biasa banyak[4]. Pada  1999
terdaftar  141  partai politik  di Departemen  Kehakiman. Dari  sekian ratus
partai  politik,  tidak seluruhnya  menjadi  peserta
pemilu,  tetapi hanya  48 partai politik  yang  bisa
ikut  dalam  pemilu[5]. Banyaknya  partai  politik
dalam pemilu  1999  ini menunjukkan  tingginya  antusiasme
rakyat  Indonesia  untuk terlibat dalam politik.
Sumbatan-sumbatan politik yang dibuat pada pemerintahan Soeharto  telah
dijebol  setelah  Presiden Habibie  (UU  No. 2  tahun  1999) memberikan ruang gerak yang luas bagi
rakyat Indonesia untuk berpolitik[6].

Dalam konteks politik Indonesia pasca Orde Baru, fenomena fragmentasi politik Islam
muncul kian deras. Dari jumlah 48 partai itu, 17 di antaranya adalah partai
politik Islam  plus  PKB[7]. Jika  kita  lihat  secara  seksama  dan teliti,  akan terlihat  bahwa
eksistensi  dari  berbagai partai  Islam  tadi
terkesan  sangat mirip, baik  dalam asas,  basis  massa
yang  diperebutkan,  gambar ataupun  tujuannya. Artinya,  eksistensi
satu  partai  dengan partai  yang  lain
bukan  bersifat  saling melengkapi  (komplementar),  tetapi
lebih  bersifat  fragmentasi dan  persaingan. Eksistensi satu
partai  justru menjadi pesaing bagi partai  lain. Karena antara satu dengan  yang
lain  tidak  terdapat perbedaan  signifikan  bahkan
punya kecenderungan  sama[8]. Fenomena  fragmentasi  politik
Islam  tidak  hanya terjadi pada  pemilu  1999.
Pada pemilu  2004  dan juga  pemilu  2009 masih
terjadi. Problematika dari fragmentasi politik Islam inilah, menurut
penulis menjadi salah satu aspek dari kemerosotan perolehan  suara PPP. Berikut data perolehan  suara PPP pada pemilu 1999, 2004 dan 2009.

Perjalanan politik PPP pada pemilu 1999 menjadi titik transisi politik dan juga titik
perubahan mendasar yang dilakukan oleh pimpinan partai  tersebut. Di antaranya,  mereka
merekonstruksi  citra  partai, reideologisasi Islam ditambah resimbolisasi Ka’bah dan  sebagainya.
Akan  tetapi  pada pemilu 2004  menjadimelemah.
Meningkatnya arus  pragmatisme  politik yang
disebabkan  karena pemimpin partai
ternyata  terjebak dalam konflik
memperebutkan kekuasaan dan bukan
memperjuangkan  prinsip  Islam[9],
membuat  partai  ini kehilangan  arah sehingga  melupakan
visi  misi  dari reideologisasi[10]
pada  masa  awal reformasi. Pada  pemilu  1999 perolehan  suara PPP
adalah 11.329.905  (10.71%) kemudian turun menjadi 9.248.764 (8,15%)
pada  pemilu  2004 dan pada pemilu Legislatif 2009,
perolehan  suara  PPP menurun lagi menjadi  5,3% dengan
jumlah  suara 5.533.214. Kemerosotan  perolehan suara yang  terus
terjadi pada  PPP di  tiga pemilu terakhir  (1999,  2004
dan  2009) menjadikan  fokus kajian  ini menarik untuk diteliti.

Penelitian  ini  dibatasi  pada  permasalahan mengenai kemerosotan perolahan  suara Partai
Persatuan  Pembangunan  (PPP) Pasca Orde  Baru  (1999, 2004 dan 2009). Berangkat  dari
latar belakang  yang  sudah penulis paparkan  sebelumnya, maka permasalahan yang dirumuskan
dalam penelitian ini adalah: Mengapa perolehan suara PPP mengalami kemerosotan
di era demokratisasi?, Bagaimana menjelaskan mekanisme  fragmentasi
politik  Islam  terhadap perolehan suara PPP pada pemilu pasca Orde Baru?,  Seberapa jauh asas
ideologi Islam berperan dalam perolehan suara PPP?, dan Sejauh mana efektif
kepemimpinan nasional dalam menjaga integrasi partai ditubuh PPP?.

Metode Penelitian

Pada  penelitian ini  penulis  menggunakan menggunakan desain  penelitian kualitatif  dengan format deskriptif,  yaitu teknik
untuk  membuat  gambaran mengenai situasi atau kejadian,
sehingga menjadi terang dan jelas. Tugas peneliti bukan  saja memberikan  gambaran  terhadap
fenomena-fenomena,  tetapi  juga menerangkan  hubungan, membuat  prediksi  serta
mendapatkan  makna  dan implikasi dari suatu masalah yang ingin
dipecahkan[11].

Teknik analisa dalam  metode  kualitatif merupakan teknik untuk memahami
dan memberi arti terhadap fenomena yang kompleks. Oleh karena itu, harus
menggunakan prinsip analisa. Semua masalah harus dicari  sebab-musabab serta pemecahannya dengan
menggunakan analisa yang logis (masuk akal). Fakta yang  mendukung
tidaklah  dibiarkan  sebagaimana adanya  atau  hanya dibuat deskripsinya  saja. Akan
tetapi,  semua kejadian harus dicari  sebab-akibat dengan menggunakan analisa yang tajam[12].

Adapun metode  pengumpulan  data
dalam  penelitian  ini, penulis menggunakan library research atau penelitian kepustakaan yakni
dengan mencari bahan-bahan  yang  perlu dipersiapkan  dalam  penelitian
di  antaranya buku,  surat kabar, artikel, majalah,  jurnal  dan
lain  sebagainya  yang relevan dengan  pokok bahasan  penelitian
ini. Dalam  mengumpulkan  data digunakan  juga  teknik wawancara,  dengan
menggunakan schedule  questioner  atau interview  guide kepada Pimpinan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP).

Demokratisasi dan Fragmentasi Politik Islam

Gelombang  demokratisasi terjadi  pada negara-negara  dengan  sistem
kekuasaan: Pertama, monarki absolut, aristokrasi  feodal, dan kekaisaran negara-negara
kontinental. Rezim-rezim yang berkuasa dalam sistem tersebut mengalami gelombang demokratisasi pertama pada
1828-1942. Di antaranya adalah Amerika Serikat,  Perancis, Inggris,  Kekaisaran  Romawi,
Spanyol  dan lain sebagainya. Kedua, gelombang  demokratisasi  kedua
terjadi  pada  1943-1975, menghantam negara-negara
berpola Fasis, negara bekas koloni, dan rezim kediktatoran militer pribadi. Seperti  di
Italia,  Yunani,  Jepang dan  lain-lainnya. Ketiga,  gelombang
demokratisasi ketiga,  terjadi pada
negara-negara dengan pola  satu partai, Negara yang dikuasai  rezim militer dan   negara yang diperintah oleh  rezim kediktatoran pribadi.  Di  antaranya adalah  Turki,  Pakistan, Korea  Selatan,  Filipina dan  lain sebagainya[13].

Menurut Robert W. Liddle, fenomena pemerintahan otoriterianisme, ialah  kontrol  yang
ketat  terhadap individu maupun  kelompok sehingga menjadi penyangga  utama
kekuasaan  mutlak bagi sang  penguasa. Meskipun  demikian, sistem
pemerintahan  otoritarianisme  tersebut telah diganti  dengan sistem pemerintahan demokratis[14].

Gelombang  demokratisasi baru  menghantam  Indonesia
menjelang penutupan dekade 1990-an[15].
Dengan Pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden Republik  Indonesia,
menjadi  titik awal bagi demokratisasi
di  Indonesia. Euforia publik pun mulai muncul  di mana-mana. Dengan  demikian,
secara  cukup  tiba-tiba, politik  menjadi  sebuah ruang  publik  di mana
setiap  orang  merasa bahwa mereka memiliki hak
untuk terlibat di dalamnya. Dengan di dorong oleh semangat reformasi,  sebuah  ungkapan
politik  yang  telah menjadi populer  sejak  1998, dan yang  mungkin telah  memberi  kontribusi
bagi  kejatuhan  Soeharto. Masyarakat pada waktu itu, melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan politik
tanpa menghadapi kendala represif dan kekangan seperti saat pemerintahan Soeharto[16].

Dinamika  transisi dari  pemerintahan  otoriter
kepada  pemerintahan demokratis,  bukanlah
sekadar  soal pergantian  penguasa
atau  runtuhnya  rezim otoriter.  Melainkan, sangat  ditentukan
dapat  tidaknya tercipta  liberalisasi dan demokratisasi yang
berjalan menyeluruh dan meluas. Oleh karena itu, perluasan atas  jaminan-jaminan  bagi
hak-hak  individu  dan hak-hak  lainnya,  baik hak berbeda pendapat,
mobilisasi politik, dan lainnya. Pada akhirnya meminjam istilah Guillermo  O’Donnell
dan  Philippe  C. Schmitter[17],fenomena liberalisasi  dan demokratisasi sebagai suatu
“kebangkitan kembali masyarakat sipil”.

Liberalisasi  dan demokratisasi sebenarnya mencerminkan
pola-pola persaingan  dan polarisasi  partai[18]. Di Indonesia pasca  Orde
Baru, fenomena tersebut  sangat terlihat  dengan  jelas
dan  kasat mata, yaitu dengan kemunculan partai-partai politik
baru maupun partai-partai politik lama yang kemudian munculkembali  (reinkarnasi), polarisasi partai baik  berdasarkan
ideologi, kepentingan elit, dan lain sebagainya.

Dari uraian diatas dapat dianalisis bahwa ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan bahwa demokratisasi menyebabkan perolehan suara dari PPP terus
merosot di era reformasi, yakni: Pertama, hal
itu  disebabkan  oleh fenomena kemunculan  partai-partai politik baru di era
demokratisasi. Secara sederhana, kemunculan partai-partai baru merupakan  ancaman
bagi  eksistensi  partai lainnya. Karena  dengan  terbentuknya partai politik baru maka sedikit
banyaknya akan memberikan pengaruh terhadap pecahnya  suara. Pada
pemilu  Orde  Baru, hanya 3 partai  yang  bisa
mengikuti Pemilu, salah satunya adalah PPP. Saat itu, PPP mencerminkan
diri sebagai satu-satunya partai Islam. Akan tetapi, pasca Orde Baru atau pada
pemilu 1999, partai-partai  politik baruberdiri dan  bermunculan bagai  jamur
di musim  hujan, dari 3 kontestan  pemilu menjadi 48  kontestan,
dari 1  partai  Islam menjadi 18, bahkan kalau memasukkan PKB
dan PAN, jumlahnya akan bertambah menjadi 20 Partai Islam. Sehingga, terjadi
polarisasi pemilih yang sedikit banyaknya menyumbang kemerosotan perolehan
suara bagi PPP. Kemunculan partai-partai politik baru itu sebenarnya
diuntungkan  dengan adanya perubahan (Amandemen) UU  Partai Politik dan UU
Pemilu. Menurut  Guillermo  O’Donnell dkk.,  dalam beberapa  kasus
dan  pada momentum-momentum  tertentu
dari gelombang demokratisasi,  lapisan-lapisan masyarakat
yang beragam (heterogen), dapat bersatu untuk membentuk apa yang mereka sebut
sebagai “gelombang kebangkitan rakyat”[19].Gelombang kebangkitan rakyat  itu  lah
kalau  dalam  konteks Indonesia  pasca  Orde Baru,  bisa  disebut sebagai
gelombang kebangkitan partai-partai politik. Karena partai politik adalah bagian dari rakyat dan rakyat
adalah pengelola partai politik.

Kedua, demokrasi sebagai kekuataan divisif. Dengan kata lain, demokrasi secara  potensial
mempunyai  kekuatan  divisif, yakni  kemampuannya  memecah belah kekuatan politik manapun. PPP
sebagai wadah bagi kekuatan politik Islam, menjadi  “korban” dari  sifat  demokrasi
tersebut. Lihat  saja,  di era  transisi demokrasi  (pasca keruntuhan Orde  Baru/ masa  awal
reformasi), partai  tersebut terpecah  belah dan juga digembosi  oleh  kadernya
sendiri, yakni dengan mendirikan partai-partai politik  baru,
termasuk Jaelani Naro yang mendirikan Partai  Persatuan
(PP),  Matori  Abdul Djalil yang bergabung  dengan  Partai Kebangkitan  Bangsa (PKB), Ridwan  Saidi  mendirikan
Partai  Masyumi  Baru (PMB), dan  lain sebagainya. Sehingga pemilih  tradisional PPP pun ikut terpecah-belah  dan
terpolarisasi  kepada  partai-partai
baru  tersebut. Selaras  dengan fenomena  tersebut, Guillermo O’Donnel dkk, memang
memprediksi bahwa pada masa transisi  demokrasi,  partai-partai politik  sering  kali
selalu  terpecah  belah, terkotak-kotak, atau sibuk dengan
dinamika kepemimpinan internal[20].
Gelombang demokratisasi bukan saja mampu memecah belah suatu partai politik,
bahkan faktanya mampu “menghancurkan” sebuah negara. Misalnya Uni Sovyet yang
dikenal sebagai negara “tirai besi” di bawah ideologi komunis mulai mengalami  perubahan
sejak  pemimpinnya,  Mikhail Gorbachev[21]
melancarkan gerakan pembaharuan, yang salah
satunya menjalankan konsep demokratisasi di negara tersebut. Alhasil,
negara sebesar Uni Sovyet mengalami bencana yang luar biasa,  suatu realitas  politik  tidak
terbantahkan. Negara tersebut  mengalami perpecahan
yang  dilematis, beberapa  daerah –yang dulu  di
bawah Uni  Sovyet–akhirnyamenyatakan diri sebagai suatu negara otonom dan merdeka.

Ketiga,
demokrasi menjamin persaingan politik. Menurut Georg Sorensen, gelombang  demokratisasi
menciptakan  lingkungan  yang lebih  terbuka  di  mana
kelompok dalam masyarakat dimungkinkan untuk berfungsi dengan lebih baik[22],
sehingga men-sah-kan adanya persaingan politik. Pada pemilu Orde
Baru,  PPP hanya  menghadapi dua  rival saja,  sedangkan pasca  Orde
Baru, partai  tersebut harusberhadapan dengan 47 partai  lainnya.
Selaras dengan  itu, Huntington  juga berpendapat bahwa “Persaingan partai
biasanya dibenarkan berlangsung di dalam iklim demokrasi”[23].
Kebebasan merupakan suatu nilai yang terjamin dalam Negara yang menjalankan
demokrasi. Persaingan politik yang begitu ketat dengan
partai-partai  politik  lainnya, tidak  dapat dipungkiri, menyebabkan  PPP  mengalami
kemerosotan  perolehan suara. Pada
pemilu 1999, partai  itu sudah mulai  terpolarisasi dengan persaingan-persaingan
unsur di internal partai. Lihat saja fenomena kemunculan partai-partai baru,
merupakan langkah dari kekecewaan atas kebijakan pimpinan PPP dan juga sikap  egoisme
individu akan  kekuasaan  pada saat itu. Begitu  juga  pada pemilu 2004, keluarnya (mufaroqoh) K.H.
Zainuddin  M.Z.  dari PPP  dan kemudian mendirikan  Partai Bintang  Reformasi  (PBR),
merupakan  ekses  dari persaingan politik di dalam tubuh PPP sendiri.

Fragmentasi politik yang terjadi dalam tubuh PPP setidaknya dipengaruhi oleh  tiga
faktor utama, yaitu perbedaan interpretasi nilai, persaingan
kepentingan, dan pemaknaan kebijakan umum[24].
Ketiga faktor tersebut memberikan ekses negatif bagi PPP  sehingga partai  ini mengalami kemerosotan perolehan suara
pada pemilu-pemilu pasca Orde Baru.

Pertama,
perbedaan interpretasi nilai. Konstelasi politik pasca Orde Baru, memang
terdapat fenomena menarik dalam wacana politik Islam di Indonesia. Hal itu
ditandai  dengan  terpecah belahnya  kultur
politik  Islam,  substansialisme  dan formalisme  (walaupun memang masih  tetap
bergaris pada sub  kultur  tradisional dan modernis),  tentu
saja dengan  segala tingkatannya.
Polarisasi  tersebut, malah terefleksi
dalam proses fragmentasi pembentukan partai, yang secara jelas disimak dari
berdirinya PAN dan PKB[25].
Kehadiran dua partai dengan massa pendukung yang  besar
dan  luas  dari kalangan  Islam  tersebut, memiliki platform  pluralismedan
kebangsaan  di  samping komitmen  keagamaan  dengan
interpretasi  mereka terhadap  nilai-nilai Islam.  Dengan  substansi  sama,
namun dengan  sebutan  berbeda, Partai KAMI  menjadikan
Al-Qur’an  dan  Al-Hadits ebagai asas partainya. Adapun 8
partai lainnya (PUMI, Partai SUNI, PNU, PCD, PKU,  PAY)
kendati  menyebutkan  Pancasila sebagai  asas  partai, tetapi  masih menyenderkan kata
“Islam,” atau “Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” Sedangkan PIB yang  secara
kasat  mata  menggunakan kata  “Islam”  akan
tetapi,  partai  ini menggunakan asas Nasional Religius.
Begitu juga dengan Partai Islam Demokrat (PID) yang menetapkan Pancasila sebagai asasnya.

Kedua,  persaingan dan  perbedaan  kepentingan. Perbedaan  visi,  orientasi dan
kepentingan  elit  politik merupakan  cerminan  dari sebab-sebab terjadinya fragmentasi
politik  Islam[26]. Seperti  alasan  tentang mengapa  warga  NU ingin memiliki  partai  politik
sendiri. Hal  demikian  tidak terlepas  dengan  alasan yang sarat  dengan  kepentingan. Faktor kepentingan  juga
terlihat  dari  alasan yang dikemukakan  K.H.  Cholil Bisri bahwa  NU  perlu memiliki  partai  sendiri,
agar tidak menjadi pendorong gerbong orang lain (maksudnya partai lain).
Yang secara tidak  langsung  berarti “Enak  di  orang, tak  enak  di kita”. Argumentasi  ini  tentu tidak
lepas  dari  faktor historis,  di  mana NU mendapat  jatah  yang tidak proporsional  ketika  bergabung
dalam Masyumi  dan  kemudian PPP.  Pernyataan dari  kiai sepuh  tersebut
mengindikasikan  bahwa  faktor kepentingan  menjadi sumber danlandasan dari fragmentasi politik Islam[27].

Ketiga,
Perbedaan pemaknaan kebijakan umum. Dalam konteks kepartaian, perbedaan  dalam
nilai  yang  dianut oleh sebuah  partai pada akhirnya  sangat menentukan  pemaknaan
partai  tentang  “kebijakan umum”.  Perbedaan sangat kentara
dapat dijumpai secara jelas pada level pemaknaan kebijakan yang rendah, seperti
tercermin dari program-program partai yang memperlihatkan variasi tujuan, sehingga  menjadi bukti
adanya  perbedaan
kecenderungan  dalam  pemaknaan kebijakan.  Perbedaan datang di  antaranya dari  PKB,
PKU  dan  PNU. Jika PKB mengklaim mengedepankan  nilai-nilai
kebangsaan  dibandingkan  mendirikan negara Islam ataupun menerapkan
hukum Islam secara formal di Indonesia, maka PKU  dan
PNU lebih memperjuangkan ajaran  Islam  secara demokratis  untuk dimasukkan  dalam
Undang-undang[28]. Sementara,  PPP  dengan
slogan  “politik amar ma’ruf  nahi mungkar” mengidentifikasikan  diri
sebagai partai  Islam yang memperjuangkan nilai-nilai keislaman yang universal. Perbedaan
ataupun keberagaman pandangan Partai-partai  Islam terhadap Islam  dan  politik,
menyebabkan  beragamnya  pola dan  perilaku  masing-masing partai  Islam sendiri
sangat mungkin  terjadi  gesekan bahkan  benturan[29].

Reideologisasi Islam

Mengawali  pembahasan dalam  sub  bab ini,  kiranya  perlu
dikemukakan bahwa pasca OrdeBaru (tepatnya setelah runtuhnya rezim Soeharto), PPP secara tegas
mengambil keputusan –pada Muktamar IV– untuk kembali ke khittah Islam dengan
melakukan reideologisasi Islam dan resimbolisasi Ka’bah. Untuk  itu, penulis  akan  meninjau

tentang  seberapa  jauh ideologi  Islam
berperan  dalam perolehan  suara  PPP.
Pertama, permasalahan muncul atas semakin
meluasnya pragmatisme politik di Indonesia. Terutama bagi partai-partai
politikkhususnya partai-partai  Islam yang
mulai  terbentur antara  identitas partai dengan
politik  rasional. Kedua,  tuntutan bagi partai-partai  Islam, khususnya PPP
dalam menghadapi gelombang modernisasi sistem politik.

Partai  politik tentu  mempunyai  asas ideologi  yang  berfungsi sebagai landasan,  dan platform
dalam  menjalankan  roda kehidupannya.  Asas  ideology partai  merupakan ruh yang  menjadi  sumber
inspirasi  dan  motivasi penggerak kehidupan  suatu partai.  Selanjutnya,  asas
ideologi  akan  menentukan identitas perjuangan darisuatu partai[30]. Oleh  karena
itu,  PPP  secara tegas  menyatakan  asas ideologi  partainya adalah  Islam[31]
dan  dalam platform-nya  disebutkan bahwa  tujuan  partai
adalah mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan kehendak Allah, dalam
bentuk  negara-bangsa Republik  Indonesia  berdasarkan
Pancasila,  untuk membangun  sebuah tatanan  politik  yang
demokratis  atas  dasar etika  Islam  (al-akhlaq al-karimah), dan untuk menciptakan
kehidupan yang Islami[32].

Munculnya Islam sebagai kekuatan politik yang tercermin dari berdirinya partai Islam,
pada dasarnya merupakan bagian dari dinamika politik bangsa ini[33].
Menurut Salahuddin Wahid, keberadaan partai Islam adalah  suatu cerminan dari
kebutuhan  masyarakat. Misalnya,  PPP  melakukan reideologisasi  Islam  dan resimbolisasi
Ka’bah juga karena  tuntutan dari parapendukungnya[34]. PPPsangat jelas mengandalkan  kekuatannya
–yakni  Islam–  dalam menggalang  massa didasarkanatas hubungan emosional keagamaan
tersebut. Primordialisme agama diharapkan akanmenjadi “lem perekat” antara massa dengan elit partai[35].

George  M. Marsden  menyatakan  bahwa “Agama  tetap  merupakan salah  satu
indikator  terbaik tentang  perilaku  politik. Agama mempunyai  banyak
hubungan dengan  politik. Karena  agama  membentuk dan  memperkuat  visi-visi
moral.”[36] Akan  tetapi, pandangan miring  tentang relevansi  Islam –sebagai agama–
dengan perilaku politik  pemeluknya  datang dari  Huntington,  menurutnya
masyarakat Islam merupakan masyarakat yang asing  terhadappartisipasi politik[37].

Meskipun demikian,  pandangan Huntington  tersebut  dibantah
oleh  Saeful  Mujani, yang menulis, “klaim
Huntington bahwa partisipasi politik terkait dengan objek Islam… juga  terbantah
dalam  kasus  masyarakat  Muslim  Indonesia.  Kaum Muslim berpartisipasi  dalam
aktivitas  politik  apa pun  tanpa melihat  karakteristik objek partisipasi,
entah Islami atau tidak Islami.”[38]
Oleh  karena  itu, kecenderungan  menggunakan  agama (Islam),  untuk
dijadikan  sebagai asas  ideologi  partai semakin  kuat  dan banyak  diminati.
Misalnya,  PPP, langkah  itu  diambil sebagai  upaya  untuk memperoleh  kembali
konstituen Islam. Selain itu, pemakaian Ka’bah bertujuan menunjukkan komitmen
partai  pada nilai-nilai  Islam.

Sehubungan  dengan itu,  ternyata  kunci kekuatan Muslim di  Indonesia menghadiri pertemuan
masyarakat  setempat, mengorganisasikan masyarakat  untuk memecah  masalah  bersama,
bekerja  sama,  menghubungi pejabat  publik, menghadiri  rapat
umum  dalam musim  kampanye, berpartisipasi  dalam  pawai politik, membantu partai  politik,
mengorganisasikan  dan  menandatangani  petisi untuk  masalah  publik,
bahkan berpartisipasidalam demonstrasi dan aksi politik langsung yang  lain. Seluruh
aktivitas politik  ini terkait secara positif dan signifikan dengan Islam.

Dalam  beberapa tahun  terakhir,  partai-partai keagamaan  (ke-Islam-an)  di
dunia Arab telah berhasil mengalahkan lawan-lawan  sekulernya  secara
meyakinkan,  karena  para kandidat Islamis  terbukti  sukses di  tempat  pemilihan. Misalnya,  pada
pemilu  Irak  (2005), aliansi  Syi’ah memenangi 128 dari
275 kursi. Di Palestina, pada pemilu pertama, Hamas menang telak atas partai Fatah  (partai
sekuler). Di Mesir,  Ikhwanul Muslimin memperoleh  seperlima  kursi
parlemen. Di Turki, pada pemilu anggota parlemen  (2002), AKP
(Partai Pembangunan dan Keadilan) berhasil memenangi mayoritas  suara di parlemen. Para  Islamis bermain kuat dalam pemungutan  suara di Arab Saudi (2005), dengan Islamis moderat memenangi semua kursi di Dewan Kota Makkah dan Madinah.

Kepemimpinan dan Perilaku Elit PPP

Momentum  Muktamar (suksesi)  di  suatu organisasi  partai  politik (khususnya  PPP)
menjadi  bahan  diskusi yang  menarik.  Di samping,  akan  ada perubahan
pada  struktural  kepemimpinan, terkadang  juga  memunculkan perselisihan  atau
bahkan  perpecahan  di tubuh  partai, yaitu  antarkubu
atau kelompok yang kalah dengan kubu yang menang dalam muktamar  tersebut. Dan juga  tidak menutup
kemungkinan  akan mempengaruhi  integrasi partai  tersebut. Selaras dengan
itu, menurut Hadimulyo, “setiap selesai musyawarah [Muktamar] seperti  itu,
itu  apa  yang terjadi,  itu  kan pasti  ada  yang kalah,  ada  yang
tidak tertampung.” Sehingga dinamika kepemimpinan terletak di sana[39].76
Seperti  pada  Muktamar V  PPP,  yang
sempat  memunculkan  wacana “peremajaan  partai,”
sampai-sampai  terbentuk  kaukus lintas  faksi  yang digerakkan  oleh
kalangan  muda  seperti Arif  Mudatsir  Mandan
dan  Endin Soefihara  dari  unsur  NU
yang  pro-Hamzah  Haz, serta  Usamah  Hisyam
dan Hadimulyo dari unsur Parmusi yang pro-Bachtiar Chamsyah. Kedua kubu
tertemu dalam  isu regenerasi. Namun, ada
resiko  lain setelah kaukus muda  terjebak pada perkubuan  dua
kandidat. Soliditas  kaukus muda PPP  tersebut,  sepertinya
belum terbebas  dari  irama permainan  golongan  tua[40].

Oleh  karena, masing-masing  dari kubu
kalangan muda,  tidak mencoba  untuk mendukung  golongan muda
sendiri. Malah lebih memilih untuk mendukung tokoh senior mereka. Menurut  Arif
Mudatsir  Mandan, Bachtiar  Chamsyah, hanya  mendapat dukungan dari
unsur Parmusi saja. Sedangkan Hamzah Haz didukung dari semua unsur: NU,  sebagai
basis  utama Hamzah Haz,  sebagian Parmusi,  SI,  dan Perti. Tokoh  Parmusi  yang
diklaim  pro-Hamzah  itu, antara  lain,  adalah
Alimarwan Hanan, Hazrul Azwar dan Thahir Saimina. Sedangkan dari SI ada
nama Sukardi Harun dan dari Perti ada Yudho Paripurno[41].

Model perkubuan pada Muktamar V PPP, sebenarnya mengulang dengan apa yang terjadi
pada Muktamar IV. Saat itu, Hamzah Haz bersaing dengan A.M. Saefuddin. Oleh
karena  itu, Zarkasih Noer menyebutkannya
persaingan Parmusi dan lintas unsur, karena A.M. Saefuddin hanya memasukkan
orang Parmusi dalam komposisi formaturnya,  seperti Bachtiar
Chamsyah, Ali Hardi Kiai Demak,  dan Rusydi  Hamka. Sedangkan,  Hamzah  Haz
menawarkan    komposisi  beragam. Selain nama Karmani (NU), ada juga
Alimarwan Hanan (Parmusi), Syaiful Anwar Husein (SI),  dan  Yudho
Paripurno  (Perti).  Hamzah Haz,  akhirnya  mampu memperoleh  255 suara.  Sedangkan  A.M.
Saefuddin  mendapatkan  177  suara. Pendukung Saefuddin tetap mendukung Bachtiar. Sedangkan pendukung
Hamzah Haz juga tetap setia di kubu lama[42].

Selanjutnya, hasil muktamar V PPP –dengan terpilih kembali Hamzah Haz sebagai ketua umum
PPP– menyisakan kekecewaan di kubu Bachtiar Chamsyah. Ia  mengatakan
“saya  tidak happy  (dengan kepengurusan  baru).”  Bachtiar Chamsyah  yang mengklaim mendapat  dukungan
16 DPW  PPP,  tidak berhasrat membentuk PPP tandingan  atau mendirikan  partai
politik  baru. Berbeda dengan tokoh
lain yang tidak puas dengan kepemimpinan Hamzah Haz, seperti Zaenuddin M.Z  yang
kemudian  mendirikan  PPP tandingan  dan  akhirnya bersama-sama sebagai
kontestan  pada  pemilu 2004  dengan  nama PBR  (Partai  Bintang Reformasi)[43].

Kejadian tersebut, secara tidak langsung berdampak bagi kesolidan dan integrasi di tubuh
PPP sendiri[44]. Dinamika kepemimpinan seperti inilah yang menyebabkan para pemilih tradisional merasa
apatis terhadap PPP. Alhasil, kepemimpinan  di  tubuh
PPP  berjalan  sendiri-sendiri,  tidak satu komando.  Padahal  integrasi
kepemimpinan adalah  faktor  penting agar  mampu menjalankan  roda
organisasi  secara  maksimal. Oleh  karena  itu, Umadi  Radi melihat  bahwa
aspek  kepemimpinan  partai merupakan  salah  satu penyebab munculnya  kemelut  di
tubuh  PPP[45].

Yang  sedikitnya akan  menyumbang  dan bahkan menyebabkan disintegrasi di
tubuhnya sendiri. Sementara itu, Hadimulyo juga menyatakan hal yang hampir
sama, menurutnya, masalah kepemimpinan PPP menjadi krusial[46].
Dan bagi media massa dan juga ilmuwan sampai pegiat politik, Hal  itu dipicu oleh pembatalan Muktamar  (2003), menurut Bahtiar Effendy[47], partai yang mestinya sudah cukup terlembagakan ini bisa menghindari perpecahan.
Akan tetapi, Setelah pidato Hamzah di Surabaya, dinilai sebagian tokoh PPP,
tidak memberi isyarat penyelesaian akar konflik.  Oleh karena  itu, mereka  berketetapan
untuk mendirikan  PPP  Reformasi. Beliau  juga memaparkan pernyataan yang hampir sama maknanya  yaitu soal kepemimpinan  juga
tidak kalah  penting  bagi PPP.  Karena  partai
ini merupakan partai Fusi yang terdiri dari empat unsur, NU, MI
(Parmusi), SI dan Perti. Unsur-unsur utama pendukung  PPP,  inilah yang  terjadi  dinamika,
persaingan,  kompetisi  internal di  dalam pengambilan  keputusan
partai,  baik  dari Muktamar, Musyawarah Wilayah, Musyawarah
Daerah sampai pada tingkat ranting[48].

Peristiwa PPP menarik karena drama konflik elit di dalamnya. Pertentangan dan kompetisi  tokoh
yang berpengaruh, selalu menimbulkan  sensasi.  Personalitas, aroma  kekuasaan,
manuver  dan  trik kompetisi,  selalu  menjadi bumbu  yang membuat peristiwa itu
menarik untuk diikuti[49]. Sedangkan  pada Muktamar VI  PPP, juga  terjadi  kemelut
yang  akhirnya berbuah perpecahan
antara kubu yang menang dengan kubu yang kalah. Kali  ini juga hampir  sama dengan
suksesi kepemimpinan  sebelumnya, yaitu pertarungan antara Hamzah Haz  yang
mendukung Arief Mudatsir Mandan  dengan Bachtiar Chamsyah  yang  mendukung
Suryadharma Ali.  Pada  akhirnya, Suryadharma meraih 365  suara,
mengalahkan pesaing utamanya, Arief yang memperoleh 325 suara[50].

Setelah  penetapan Suryadharma  sebagai  ketua
umum  baru,  Hamzah pernah ditawari duduk sebagai pengurus
partai. Akan  tetapi,  ia menolak tawaran tersebut  dengan  alasan ingin  fokus  beribadah saja[51].
Meskipun  demikian, keluarnya  Hamzah Haz tetap  saja mengindikasikan  terjadi  disintegrasi
padakepemimpinan di tubuh Partai Ka’bah ini. Kemelut di tubuh PPP sempat
juga terjadi antara Suryadharma Ali dengan Bachtiar Chamsyah (padahal dulu
pernah bersama dalam suksesi kepemimpinan). Sikap  politik
Bachtiar  Chamsyah  sebagai Ketua MPP  PPP  berlawanan dengan Ketua  Umum  Suryadharma Ali  dalam  soal
mendukung  capres.  Suryadharma memberikan kesempatan kepada calon lain untuk menjadikan PPP sebagai partner dalam  mengincar posisi  Presiden  dan Wakil  Presiden.  Sedangkan, Bachtiar Chamsyah  sudah  cenderung
meletakkan  pilihan  kepada Susilo Bambang Yudhoyono  (SBY).

Terlalu  seringnya kemelut  (konflik)  yang menghinggap  di tubuh
PPP, menjadi  boomerang  bagi partai  ini  sendiri.
Pemimpin  atau  elit PPP masih  belum  mampu
melakukan  integrasi  partai secara  menyeluruh.  Dan
juga faksi-faksi yang ada di partai berlambang Ka’bah ini, merupakan
salah satu factor yang menyebabkan partai sulit untuk menyatukan komitmenpolitiknya

Penutup

Setelah  jatuhnya kekuasaan otoritarian Soeharto, demokratisasi di bidang politik
melahirkan aroma  kebebasan  yang sangat  luar  biasa. Semestinya hal  itu bisa  menjadi
momentum  bagi  PPP sebagai partai  Islam melakukan
kreasi  dan manuver  politik untuk meraih simpati  publik  sebanyak-banyaknya. Akan  tetapi,
yang  terjadi  malah sebaliknya, pada  era  demokratis
tersebut, partai  tersebut mengalami kemerosotan perolehan  suara dari pemilu 1999, 2004  sampai pemilu 2009.

Daftar Rujukan

 Buku

A.,Denny J. 2006. Jalan Panjang Reformasi.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

————–.2006. Manuver Elit, Konflik dan Konservatisme Politik. Yogyakarta: LKIS.

Effendy,  Bahtiar. 2000. (Re)politisasi  Islam:  Pernahkah Islam  Berhenti  Berpolitik?. Bandung: Mizan.

———————.2005. Jalan  Tengah Politik  Islam:  Kaitan Islam,  Demokrasi,  dan Negara yang Tidak Mudah. Jakarta:
Ushul Press.

———————.2009.  Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam diIndonesia. Jakarta: Paramadina.

Huntington,  Samuel P. 1995. Gelombang Demokratisasi  Ketiga. Penerjemah  Asril Marjohan. Jakarta: PT Grafiti.

—————————-.1983. Tertib Politik di dalam Masyarakat yang Sedang Berubah. Penerjemah Sahat Simamora dan Suryatim. Jakarta: CV Rajawali.

Huntington,  Samuel P.  dan  Nelson. 1994. Partisipasi  Politik  di Negara Berkembang. Penerjemah  Sahat  Simamora. Jakarta:  PT
Rineka  Cipta.

Karim, M. Rusli. 1983. Perjalanan Partai Politik di  Indonesia: Sebuah Pasang Surut. Jakarta: Rajawali Press.

——————–. 1992. Islam  dan Konflik Politik Era Orde Baru. Yogyakarta: Media Widya Mandala.

Liddle,  Robert William. 1997. Islam,  Politik dan Modernisasi. Jakarta: Pustaka  Sinar Harapan.

Mage,Ruslan  Ismail. 2009. Industri Politik:  Strategi  Investasi Politik  dalam  Pasar Demokrasi. Jakarta: PT Wahana
Semesta Intermedia.

Marsden, George M. 1996. Agama dan Budaya Amerika.Penerjemah B. Dicky Soetadi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Mashad, Dhurorudin. 2008. Akar  Konflik Politik  Islam  di Indonesia. Jakarta:  Pustaka Kautsar.

Mujani,  Saiful. 2007. Muslim  Demokrat:  Islam, Budaya  Demokrasi,  dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Bogor:Ghalia Indonesia.

O’Donnell,  Guillermo dan  Scmitter. 1992. Transisi Menuju  Demokrasi: Kasus Eropa Selatan. Penerjemah Hartono Jakarta: LP3S.

—————-. 1993. Transisi  Menuju Demokrasi:  Rangkaian  Kemungkinan dan Ketidakpastian. Penerjemah Nurul Agustina. Jakarta: LP3S.

Purwoko, Dwi, dkk. 2001. Nasionalis Islam vs Nasionalis Sekuler. Jakarta: PT Permata Artistika Kreasi.

Radi,Umaidi. 1984. Strategi  PPP 1973-1982:  Suatu  Studi Tentang  Kekuatan  Politik Islam Tingkat Nasional. Jakarta:
Integrita Press.

Rais,  Lukman Fatahullah, ed. 1995. Menuju  Partai Masa  Depan:  Pemikiran dan Gagasan tentang PPP. Jakarta: Media Da’wah.

Sahdan,  Gregorius. 2004. Jalan  Transisi  Demokrasi Pasca  Soeharto.  Yogyakarta: Pondok Edukasi.

Setiawan,  Bambang, dan  Naingggolan,  Bestian, ed. 2004. Partai-partai  Politik Indonesia: Ideologi dan Program
2004-2009
. Jakarta: Kompas.

Sorensen,  Georg. 2003. Demokrasi  dan  Demokratisasi:  Proses dan  Prospek  dalam Sebuah Dunia  yang  sedang
Berubah
. Yogyakarta: CCSS  dan  Pustaka Pelajar.

Winarno, Budi. 2007. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Media Pressindo.

Karni, Asrori S. dan Dalle, Zainal. “Ada Unsur dalam Fusi.” GATRA, no. 27 (Mei 2003):h. 78.

Karni,Asrori S. dan Hidayat, Rachmat. “Gelora Remaja 40 Tahunan.” GATRA, no. 28 (Mei 2003): h. 41.

Karni, Asrori S. dkk. “Golkar Digandeng, Kalla Dipantau.” GATRA, no. 23 (April 2009):h. 98.

Wijaya, M.  Taufik  Budi., dkk. “Plus-Minus  Gerbong  Hamzah.” Medium,  (Juli 2003): h. 29.

Wawancara

Wawancara Pribadi  dengan  Hadimulyo, Pamulang,  Tangerang  Selatan, 04 Februari 2011.

Dokumen Muktamar PPP

Ketetapan  Muktamar VI Partai  Persatuan  Pembangunan tentang  Khitthah dan Program Perjuangan Partai.

Dokumen Elektronik

“Putuskan  Tak Aktif  di  PPP, Hamzah  Haz  Ingin Perbanyak  Ibadah.” Rakyat Merdeka,artikel atau  berita ini diakses  pada
14  Februari  2007 dari http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2007/02/14/

 


[1] Alumnus Jurusan Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2011

[2]Rene Klaff, “Prinsip-prinsip Dasar Demokrasi dan Pemerintahan yang Baik” dalam Ulil
Abshar-Abdalla, ed., Islam & Barat: Demokrasi dalam Masyarakat Islam (Jakarta: FNS Indonesia, 2002), h. 109.

[3] Ruslan Ismail Mage, Industri Politik: Strategi Investasi Politik dalam Pasar Demokrasi
(Jakarta: PT Wahana Semesta Intermedia, 2009), h. 61.2

[4] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik  Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina,
2009), h. 373.8

[5] Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, h. 100.

[6] Dwi  Purwoko dkk, Nasionalis  Islam  vs Nasionalis  Sekuler  (Jakarta:
PT  Permata Artistika Kreasi, 2001), h. 49-50.

[7] Dalam  hal ini, Dhurorudin tidak mengkategorikan PAN  sebagai  partai
politik Islam. Lihat Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik  Islam di Indonesia, h. 137-138; Berbeda
dengan Arsekal  Salim yang  mengkategorikan  PAN sebagai  partai  politik Islam.  Lihat  Arsekal
Salim, Partai Islam  dan Relasi Agama-Negara  (Jakarta:  Pusat Penelitian  IAIN  Jakarta,
1999), h.  7-12 dalam Bahtiar Effendy, Islam  dan Negara: Transformasi
Gagasan  dan Praktik Politik  Islam di Indonesia, h. 373-374.

[8] Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, h. 138-139.

[9] Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, h. 273.

[10] Meminjam istilah Bahtiar Effendy yang disampaikan saat kuliah Ilmu Politik VII pada mata kuliah
“Pendekatan-Pendekatan Politik Islam Indonesia”. Menurutnya, awal reformasi
(1999,2000,  2001,  2002 dan  2003),  partai-partai politik Islam mengalami  periode reideologisasi  yaitu periode
yang  menginginkan  penyegaran dan  penguatan  ideologi partai  yang  berdasarkan atas asas/ideologi Islam. Pada
masa  itu dipelopori  oleh beberapa  tokoh pimpinan  partai politik yaitu Yusril Ihza Mahendra, Hamzah Haz dan lain-lain.

[11] Moh. Nazir, Metode Penelitian, h. 55.

[12] Ibid., h. 37.14

[13] Gregorius Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, h. 35-36.

[14] Robert William Liddle, Islam, Politik dan Modernisasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1997),
h. 163.

[15] Gregorius Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, h. 7.

[16] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 372-373.80

[17] Guillermo O’Donnell, Phillippe C. Scmitter dan Laurence Whitehead, Transisi Menuju
Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan  dan Ketidakpastian.  Penerjemah Nurul
Agustina  (Jakarta: LP3S, 1993), h. 77.

[18] Guillermo  O’Donnell dan  Phillippe  C. Scmitter, Transisi Menuju
Demokrasi:  Kasus Eropa Selatan, h. 143.

[19] Guillermo O’Donnell, Phillippe C. Scmitter dan Laurence Whitehead, Transisi Menuju
Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, h. 87.82

[20] Guillermo O’Donnell, Phillippe C. Scmitter dan Laurence Whitehead, Transisi Menuju
Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, h. 93.

[21] Mikhail Gorbachev mempunyai tiga gagasan ide gerakan pembaharuan atas Uni Sovyet, yaitu
ide TRED, transparansi (keterbukaan), restrukturisasi, dan demokratisasi.83

[22] Georg  Sorensen, Demokrasi  dan Demokratisasi:  Proses  dan Prospek  dalam  Sebuah Dunia yang Sedang Berubah, h. 105-106.

[23] Samuel P. Huntington, Tertib Politik di dalam Masyarakat yang Sedang Berubah, h.662-663.84

[24] Sebenarnya, pemikiran  tersebut  merupakan temuan  dari
Charles  F.  Andrian. Lihat Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, h. 41 dan 160.

[25] Ibid., h. 163.

[26] Lihat Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, h. 162. Lihat  juga M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era
Orde Baru, h. 177.

[27] M.  Arskal Salim,  “Fragmentasi  Politik Islam”  dalam  Abdul Mun’im,  ed.,  Islam di Tengah Arus Transisi, h. 126.

[28] Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, h. 170-172.

[29] A.M. Fatwa, “Satu  Islam Banyak Partai” dalam Abdul Mun’im  ed.,  Islam di Tengah Arus Transisi, h. 124.

[30] A.M. Fatwa,  “Satu Islam Banyak Partai” dalam Abdul Mun’im ed.,  Islam di Tengah Arus Transisi, h. 121.

[31] Hasil Muktamar VI PPP tentang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.

[32] Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipai Politik di Indonesia
Pasca Orde Baru, h. 76; Bambang Setiawan dan Bestian Naingggolan ed.,
Partai-partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009 (Jakarta: Kompas, 2004), h. 100.

[33] Agus  Muhammad, “Redefinisi  Politik  Islam” dalam  Abdul  Mun’im ed.,  Islam  di Tengah Arus Transisi, h. 100.

[34] Salahuddin Wahid,  “Partai  (Berciri) Islam  di  dalam Bangsa  yang Majemuk”  dalam Abdul Mun’im ed., Islam di Tengah Arus
Transisi, h. 111.

[35] M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Pasang Surut, h. 204.

[36] George  M. Marsden, Agama  dan  Budaya Amerika.  Penerjemah  B. Dicky  Soetadi (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1996), h. 149-150.

[37] Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipai Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, h. 253

[38] Lihat Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, BudayaDemokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, h. 271.

[39] Wawancara pribadi dengan Hadimulyo.

[40] Asrori S. Karni dan Rachmat Hidayat, “Gelora Remaja 40 Tahunan,” Majalah GATRA, no. 28 (Mei 2003): h. 41.

[41] Asrori S. Karni dan Zainal Dalle, “Ada Unsur dalam Fusi,” Majalah GATRA, no. 27 (Mei 2003): h.78.

[42]Ibid., h. 78.102

[43] M. Taufik Budi Wijaya, dkk., “Plus-Minus Gerbong Hamzah,” Majalah Medium, (Juli 2003): h. 29.

[44] M. Taufik Budi Wijaya, dkk., “Plus-Minus Gerbong Hamzah,” h. 30.

[45] Umaidi Radi,Strategi  PPP  1973-1982: Suatu  Studi  Tentang Kekuatan  Politik Islam Tingkat Nasional, h. 52-53.

[46] Hadimulyo, “Parpol dalam Orde Reformasi” dalam Musa Kazhim dan Alfian Hamzah, 5 Partai
Dalam Timbangan, h. 316-317.

[47] Lihat  Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam, h. 116.

[48] Wawancara dengan Hadimulyo

[49] Denny J.A., Jalan Panjang Reformasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 290.

[50] Yang menarik  pada Muktamar VI PPP  adalah sudah tidak  lagi  terlihat head
to  head antara unsur satu denganunsur  lainnya. Faktanya adalah Suryadharma Ali merupakan kader NU, akan
tetapi,  ia  mendapatkan dukungan  dari  Bachtiar Chamsyah  yang  notabene
MI  (Parmusi). Sebelumnya padaMuktamar  IV dan V PPP,  terlihat dengan kasat mata pertarungan antara
unsur MI (Parmusi) dengan unsur NU, Perti, SI dan ditambah sebagian berasal dari unsur MI.

[51] Rakyat Merdeka, “Putuskan Tak Aktif di PPP, Hamzah Haz Ingin Perbanyak Ibadah,” artikel ini
diakses pada 14 Februari 2007 darihttp://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2007/02/14/104