TRANSISI DEMOKRASI DAN PERILAKU PARTAI ISLAM
(Studi Tentang Kemerosotan Perolehan Suara PPP Pasca
Orde Baru)
Yeby Ma’asan Mayrudin[1]
Abstract
The
background of the study is inspired by PPP (Partai Persatuan Pembangunan)
problem that the supports from people to the party decreased gradually in
democratic era. The three last election to be focused of the study because in
those events PPP had declined vote from people. The method of the study use
qualitative approach with descriptive design of research. The method of
collecting data use library research and interview with the leader of PPP. The
study found that the causes factor of went down of vote are the effect of
democratization wave, Islamic fragmentations, re-ideology of Islam in PPP, and
the effect of the leader rules.
Key Words: Democracy, Islamic Party, PPP
Dengan fokus pada Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), penulisan ini ingin menjawab pertanyaan berikut, “Mengapa PPP sebagai partai
politik Islam di era demokratisasi (pasca runtuhnya rezim Orde Baru) terus-menerus
mengalami kemerosotan perolehan suara?”
Pada dasarnya ciri wacana politik
abad ke-20 adalah kenyataan bahwa hampir
semua gerakan politik mengklaimkan diri mereka bersifat “demokratis” dan mengembangkan “demokrasi.” Alasan yang mendasari fenomena ini adalah gagasan sentral demokrasi, bahwa semua kekuasaan diberikan
oleh rakyat dan bahkan penggunaan kekuasaan hanya sah
jika ia mewakili kehendak rakyat. Hampir
setiap kelompok politik –dalam hal ini
partai politik– tidak berani
menghindari atau menolak asumsi dasar ini[2].
Meskipun demikian, demokrasi bagaikan pedang
bermata dua. Satu sisi matanya bisa
dipakai menciptakan kemakmuran dan perdamaian
dengan segala aturan hukum yang
harus ditaati oleh seluruh warga negara.
Sementara kalau tidak hati-hati, sisi mata
satunya dapat memancing
munculnya konflik[3]. Akan tetapi, memang demokrasi itu sendiri menghajatkan
adanya konflik. Bahkan perbedaan, kompetisi dan konflik harus
berlangsung dalam wadah yang tegak dan terlembaga, sehingga
tidak menghancurkan sistem
politik secara keseluruhan. Dengan demikian, demokrasi justru akan mengolah konflik-konflik
yang muncul di dalam prosedur dan mekanisme
politik yang terlembaga dan kemudian menjadikannya sebagai konsensus. Seperti fenomena konflik
kepentingan yang memperebutkan kekuasaan politik, baik pada eksekutif maupun legislatif. Oleh karena itu, pada suatu negara demokratis diselenggarakan pemilihan umum untuk mengelola konflik
menjadi suatu yang produktif. Dalam mekanisme
pemilu, partai politik adalah satu-satunya
lembaga yang sah untuk mengikuti proses memperebutkan kekuasaan politik tersebut.
Salah satu implikasi dari demokratisasi dan
liberalisasi politik tersebut adalah munculnya partai-partai
politik dalam jumlah yang luar biasa banyak[4]. Pada 1999
terdaftar 141 partai politik di Departemen Kehakiman. Dari sekian ratus
partai politik, tidak seluruhnya menjadi peserta
pemilu, tetapi hanya 48 partai politik yang bisa
ikut dalam pemilu[5]. Banyaknya partai politik
dalam pemilu 1999 ini menunjukkan tingginya antusiasme
rakyat Indonesia untuk terlibat dalam politik.
Sumbatan-sumbatan politik yang dibuat pada pemerintahan Soeharto telah
dijebol setelah Presiden Habibie (UU No. 2 tahun 1999) memberikan ruang gerak yang luas bagi
rakyat Indonesia untuk berpolitik[6].
Dalam konteks politik Indonesia pasca Orde Baru, fenomena fragmentasi politik Islam
muncul kian deras. Dari jumlah 48 partai itu, 17 di antaranya adalah partai
politik Islam plus PKB[7]. Jika kita lihat secara seksama dan teliti, akan terlihat bahwa
eksistensi dari berbagai partai Islam tadi
terkesan sangat mirip, baik dalam asas, basis massa
yang diperebutkan, gambar ataupun tujuannya. Artinya, eksistensi
satu partai dengan partai yang lain
bukan bersifat saling melengkapi (komplementar), tetapi
lebih bersifat fragmentasi dan persaingan. Eksistensi satu
partai justru menjadi pesaing bagi partai lain. Karena antara satu dengan yang
lain tidak terdapat perbedaan signifikan bahkan
punya kecenderungan sama[8]. Fenomena fragmentasi politik
Islam tidak hanya terjadi pada pemilu 1999.
Pada pemilu 2004 dan juga pemilu 2009 masih
terjadi. Problematika dari fragmentasi politik Islam inilah, menurut
penulis menjadi salah satu aspek dari kemerosotan perolehan suara PPP. Berikut data perolehan suara PPP pada pemilu 1999, 2004 dan 2009.
Perjalanan politik PPP pada pemilu 1999 menjadi titik transisi politik dan juga titik
perubahan mendasar yang dilakukan oleh pimpinan partai tersebut. Di antaranya, mereka
merekonstruksi citra partai, reideologisasi Islam ditambah resimbolisasi Ka’bah dan sebagainya.
Akan tetapi pada pemilu 2004 menjadimelemah.
Meningkatnya arus pragmatisme politik yang
disebabkan karena pemimpin partai
ternyata terjebak dalam konflik
memperebutkan kekuasaan dan bukan
memperjuangkan prinsip Islam[9],
membuat partai ini kehilangan arah sehingga melupakan
visi misi dari reideologisasi[10]
pada masa awal reformasi. Pada pemilu 1999 perolehan suara PPP
adalah 11.329.905 (10.71%) kemudian turun menjadi 9.248.764 (8,15%)
pada pemilu 2004 dan pada pemilu Legislatif 2009,
perolehan suara PPP menurun lagi menjadi 5,3% dengan
jumlah suara 5.533.214. Kemerosotan perolehan suara yang terus
terjadi pada PPP di tiga pemilu terakhir (1999, 2004
dan 2009) menjadikan fokus kajian ini menarik untuk diteliti.
Penelitian ini dibatasi pada permasalahan mengenai kemerosotan perolahan suara Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) Pasca Orde Baru (1999, 2004 dan 2009). Berangkat dari
latar belakang yang sudah penulis paparkan sebelumnya, maka permasalahan yang dirumuskan
dalam penelitian ini adalah: Mengapa perolehan suara PPP mengalami kemerosotan
di era demokratisasi?, Bagaimana menjelaskan mekanisme fragmentasi
politik Islam terhadap perolehan suara PPP pada pemilu pasca Orde Baru?, Seberapa jauh asas
ideologi Islam berperan dalam perolehan suara PPP?, dan Sejauh mana efektif
kepemimpinan nasional dalam menjaga integrasi partai ditubuh PPP?.
Metode Penelitian
Pada penelitian ini penulis menggunakan menggunakan desain penelitian kualitatif dengan format deskriptif, yaitu teknik
untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian,
sehingga menjadi terang dan jelas. Tugas peneliti bukan saja memberikan gambaran terhadap
fenomena-fenomena, tetapi juga menerangkan hubungan, membuat prediksi serta
mendapatkan makna dan implikasi dari suatu masalah yang ingin
dipecahkan[11].
Teknik analisa dalam metode kualitatif merupakan teknik untuk memahami
dan memberi arti terhadap fenomena yang kompleks. Oleh karena itu, harus
menggunakan prinsip analisa. Semua masalah harus dicari sebab-musabab serta pemecahannya dengan
menggunakan analisa yang logis (masuk akal). Fakta yang mendukung
tidaklah dibiarkan sebagaimana adanya atau hanya dibuat deskripsinya saja. Akan
tetapi, semua kejadian harus dicari sebab-akibat dengan menggunakan analisa yang tajam[12].
Adapun metode pengumpulan data
dalam penelitian ini, penulis menggunakan library research atau penelitian kepustakaan yakni
dengan mencari bahan-bahan yang perlu dipersiapkan dalam penelitian
di antaranya buku, surat kabar, artikel, majalah, jurnal dan
lain sebagainya yang relevan dengan pokok bahasan penelitian
ini. Dalam mengumpulkan data digunakan juga teknik wawancara, dengan
menggunakan schedule questioner atau interview guide kepada Pimpinan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP).
Demokratisasi dan Fragmentasi Politik Islam
Gelombang demokratisasi terjadi pada negara-negara dengan sistem
kekuasaan: Pertama, monarki absolut, aristokrasi feodal, dan kekaisaran negara-negara
kontinental. Rezim-rezim yang berkuasa dalam sistem tersebut mengalami gelombang demokratisasi pertama pada
1828-1942. Di antaranya adalah Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Kekaisaran Romawi,
Spanyol dan lain sebagainya. Kedua, gelombang demokratisasi kedua
terjadi pada 1943-1975, menghantam negara-negara
berpola Fasis, negara bekas koloni, dan rezim kediktatoran militer pribadi. Seperti di
Italia, Yunani, Jepang dan lain-lainnya. Ketiga, gelombang
demokratisasi ketiga, terjadi pada
negara-negara dengan pola satu partai, Negara yang dikuasai rezim militer dan negara yang diperintah oleh rezim kediktatoran pribadi. Di antaranya adalah Turki, Pakistan, Korea Selatan, Filipina dan lain sebagainya[13].
Menurut Robert W. Liddle, fenomena pemerintahan otoriterianisme, ialah kontrol yang
ketat terhadap individu maupun kelompok sehingga menjadi penyangga utama
kekuasaan mutlak bagi sang penguasa. Meskipun demikian, sistem
pemerintahan otoritarianisme tersebut telah diganti dengan sistem pemerintahan demokratis[14].
Gelombang demokratisasi baru menghantam Indonesia
menjelang penutupan dekade 1990-an[15].
Dengan Pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia,
menjadi titik awal bagi demokratisasi
di Indonesia. Euforia publik pun mulai muncul di mana-mana. Dengan demikian,
secara cukup tiba-tiba, politik menjadi sebuah ruang publik di mana
setiap orang merasa bahwa mereka memiliki hak
untuk terlibat di dalamnya. Dengan di dorong oleh semangat reformasi, sebuah ungkapan
politik yang telah menjadi populer sejak 1998, dan yang mungkin telah memberi kontribusi
bagi kejatuhan Soeharto. Masyarakat pada waktu itu, melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan politik
tanpa menghadapi kendala represif dan kekangan seperti saat pemerintahan Soeharto[16].
Dinamika transisi dari pemerintahan otoriter
kepada pemerintahan demokratis, bukanlah
sekadar soal pergantian penguasa
atau runtuhnya rezim otoriter. Melainkan, sangat ditentukan
dapat tidaknya tercipta liberalisasi dan demokratisasi yang
berjalan menyeluruh dan meluas. Oleh karena itu, perluasan atas jaminan-jaminan bagi
hak-hak individu dan hak-hak lainnya, baik hak berbeda pendapat,
mobilisasi politik, dan lainnya. Pada akhirnya meminjam istilah Guillermo O’Donnell
dan Philippe C. Schmitter[17],fenomena liberalisasi dan demokratisasi sebagai suatu
“kebangkitan kembali masyarakat sipil”.
Liberalisasi dan demokratisasi sebenarnya mencerminkan
pola-pola persaingan dan polarisasi partai[18]. Di Indonesia pasca Orde
Baru, fenomena tersebut sangat terlihat dengan jelas
dan kasat mata, yaitu dengan kemunculan partai-partai politik
baru maupun partai-partai politik lama yang kemudian munculkembali (reinkarnasi), polarisasi partai baik berdasarkan
ideologi, kepentingan elit, dan lain sebagainya.
Dari uraian diatas dapat dianalisis bahwa ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan bahwa demokratisasi menyebabkan perolehan suara dari PPP terus
merosot di era reformasi, yakni: Pertama, hal
itu disebabkan oleh fenomena kemunculan partai-partai politik baru di era
demokratisasi. Secara sederhana, kemunculan partai-partai baru merupakan ancaman
bagi eksistensi partai lainnya. Karena dengan terbentuknya partai politik baru maka sedikit
banyaknya akan memberikan pengaruh terhadap pecahnya suara. Pada
pemilu Orde Baru, hanya 3 partai yang bisa
mengikuti Pemilu, salah satunya adalah PPP. Saat itu, PPP mencerminkan
diri sebagai satu-satunya partai Islam. Akan tetapi, pasca Orde Baru atau pada
pemilu 1999, partai-partai politik baruberdiri dan bermunculan bagai jamur
di musim hujan, dari 3 kontestan pemilu menjadi 48 kontestan,
dari 1 partai Islam menjadi 18, bahkan kalau memasukkan PKB
dan PAN, jumlahnya akan bertambah menjadi 20 Partai Islam. Sehingga, terjadi
polarisasi pemilih yang sedikit banyaknya menyumbang kemerosotan perolehan
suara bagi PPP. Kemunculan partai-partai politik baru itu sebenarnya
diuntungkan dengan adanya perubahan (Amandemen) UU Partai Politik dan UU
Pemilu. Menurut Guillermo O’Donnell dkk., dalam beberapa kasus
dan pada momentum-momentum tertentu
dari gelombang demokratisasi, lapisan-lapisan masyarakat
yang beragam (heterogen), dapat bersatu untuk membentuk apa yang mereka sebut
sebagai “gelombang kebangkitan rakyat”[19].Gelombang kebangkitan rakyat itu lah
kalau dalam konteks Indonesia pasca Orde Baru, bisa disebut sebagai
gelombang kebangkitan partai-partai politik. Karena partai politik adalah bagian dari rakyat dan rakyat
adalah pengelola partai politik.
Kedua, demokrasi sebagai kekuataan divisif. Dengan kata lain, demokrasi secara potensial
mempunyai kekuatan divisif, yakni kemampuannya memecah belah kekuatan politik manapun. PPP
sebagai wadah bagi kekuatan politik Islam, menjadi “korban” dari sifat demokrasi
tersebut. Lihat saja, di era transisi demokrasi (pasca keruntuhan Orde Baru/ masa awal
reformasi), partai tersebut terpecah belah dan juga digembosi oleh kadernya
sendiri, yakni dengan mendirikan partai-partai politik baru,
termasuk Jaelani Naro yang mendirikan Partai Persatuan
(PP), Matori Abdul Djalil yang bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Ridwan Saidi mendirikan
Partai Masyumi Baru (PMB), dan lain sebagainya. Sehingga pemilih tradisional PPP pun ikut terpecah-belah dan
terpolarisasi kepada partai-partai
baru tersebut. Selaras dengan fenomena tersebut, Guillermo O’Donnel dkk, memang
memprediksi bahwa pada masa transisi demokrasi, partai-partai politik sering kali
selalu terpecah belah, terkotak-kotak, atau sibuk dengan
dinamika kepemimpinan internal[20].
Gelombang demokratisasi bukan saja mampu memecah belah suatu partai politik,
bahkan faktanya mampu “menghancurkan” sebuah negara. Misalnya Uni Sovyet yang
dikenal sebagai negara “tirai besi” di bawah ideologi komunis mulai mengalami perubahan
sejak pemimpinnya, Mikhail Gorbachev[21]
melancarkan gerakan pembaharuan, yang salah
satunya menjalankan konsep demokratisasi di negara tersebut. Alhasil,
negara sebesar Uni Sovyet mengalami bencana yang luar biasa, suatu realitas politik tidak
terbantahkan. Negara tersebut mengalami perpecahan
yang dilematis, beberapa daerah –yang dulu di
bawah Uni Sovyet–akhirnyamenyatakan diri sebagai suatu negara otonom dan merdeka.
Ketiga,
demokrasi menjamin persaingan politik. Menurut Georg Sorensen, gelombang demokratisasi
menciptakan lingkungan yang lebih terbuka di mana
kelompok dalam masyarakat dimungkinkan untuk berfungsi dengan lebih baik[22],
sehingga men-sah-kan adanya persaingan politik. Pada pemilu Orde
Baru, PPP hanya menghadapi dua rival saja, sedangkan pasca Orde
Baru, partai tersebut harusberhadapan dengan 47 partai lainnya.
Selaras dengan itu, Huntington juga berpendapat bahwa “Persaingan partai
biasanya dibenarkan berlangsung di dalam iklim demokrasi”[23].
Kebebasan merupakan suatu nilai yang terjamin dalam Negara yang menjalankan
demokrasi. Persaingan politik yang begitu ketat dengan
partai-partai politik lainnya, tidak dapat dipungkiri, menyebabkan PPP mengalami
kemerosotan perolehan suara. Pada
pemilu 1999, partai itu sudah mulai terpolarisasi dengan persaingan-persaingan
unsur di internal partai. Lihat saja fenomena kemunculan partai-partai baru,
merupakan langkah dari kekecewaan atas kebijakan pimpinan PPP dan juga sikap egoisme
individu akan kekuasaan pada saat itu. Begitu juga pada pemilu 2004, keluarnya (mufaroqoh) K.H.
Zainuddin M.Z. dari PPP dan kemudian mendirikan Partai Bintang Reformasi (PBR),
merupakan ekses dari persaingan politik di dalam tubuh PPP sendiri.
Fragmentasi politik yang terjadi dalam tubuh PPP setidaknya dipengaruhi oleh tiga
faktor utama, yaitu perbedaan interpretasi nilai, persaingan
kepentingan, dan pemaknaan kebijakan umum[24].
Ketiga faktor tersebut memberikan ekses negatif bagi PPP sehingga partai ini mengalami kemerosotan perolehan suara
pada pemilu-pemilu pasca Orde Baru.
Pertama,
perbedaan interpretasi nilai. Konstelasi politik pasca Orde Baru, memang
terdapat fenomena menarik dalam wacana politik Islam di Indonesia. Hal itu
ditandai dengan terpecah belahnya kultur
politik Islam, substansialisme dan formalisme (walaupun memang masih tetap
bergaris pada sub kultur tradisional dan modernis), tentu
saja dengan segala tingkatannya.
Polarisasi tersebut, malah terefleksi
dalam proses fragmentasi pembentukan partai, yang secara jelas disimak dari
berdirinya PAN dan PKB[25].
Kehadiran dua partai dengan massa pendukung yang besar
dan luas dari kalangan Islam tersebut, memiliki platform pluralismedan
kebangsaan di samping komitmen keagamaan dengan
interpretasi mereka terhadap nilai-nilai Islam. Dengan substansi sama,
namun dengan sebutan berbeda, Partai KAMI menjadikan
Al-Qur’an dan Al-Hadits ebagai asas partainya. Adapun 8
partai lainnya (PUMI, Partai SUNI, PNU, PCD, PKU, PAY)
kendati menyebutkan Pancasila sebagai asas partai, tetapi masih menyenderkan kata
“Islam,” atau “Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” Sedangkan PIB yang secara
kasat mata menggunakan kata “Islam” akan
tetapi, partai ini menggunakan asas Nasional Religius.
Begitu juga dengan Partai Islam Demokrat (PID) yang menetapkan Pancasila sebagai asasnya.
Kedua, persaingan dan perbedaan kepentingan. Perbedaan visi, orientasi dan
kepentingan elit politik merupakan cerminan dari sebab-sebab terjadinya fragmentasi
politik Islam[26]. Seperti alasan tentang mengapa warga NU ingin memiliki partai politik
sendiri. Hal demikian tidak terlepas dengan alasan yang sarat dengan kepentingan. Faktor kepentingan juga
terlihat dari alasan yang dikemukakan K.H. Cholil Bisri bahwa NU perlu memiliki partai sendiri,
agar tidak menjadi pendorong gerbong orang lain (maksudnya partai lain).
Yang secara tidak langsung berarti “Enak di orang, tak enak di kita”. Argumentasi ini tentu tidak
lepas dari faktor historis, di mana NU mendapat jatah yang tidak proporsional ketika bergabung
dalam Masyumi dan kemudian PPP. Pernyataan dari kiai sepuh tersebut
mengindikasikan bahwa faktor kepentingan menjadi sumber danlandasan dari fragmentasi politik Islam[27].
Ketiga,
Perbedaan pemaknaan kebijakan umum. Dalam konteks kepartaian, perbedaan dalam
nilai yang dianut oleh sebuah partai pada akhirnya sangat menentukan pemaknaan
partai tentang “kebijakan umum”. Perbedaan sangat kentara
dapat dijumpai secara jelas pada level pemaknaan kebijakan yang rendah, seperti
tercermin dari program-program partai yang memperlihatkan variasi tujuan, sehingga menjadi bukti
adanya perbedaan
kecenderungan dalam pemaknaan kebijakan. Perbedaan datang di antaranya dari PKB,
PKU dan PNU. Jika PKB mengklaim mengedepankan nilai-nilai
kebangsaan dibandingkan mendirikan negara Islam ataupun menerapkan
hukum Islam secara formal di Indonesia, maka PKU dan
PNU lebih memperjuangkan ajaran Islam secara demokratis untuk dimasukkan dalam
Undang-undang[28]. Sementara, PPP dengan
slogan “politik amar ma’ruf nahi mungkar” mengidentifikasikan diri
sebagai partai Islam yang memperjuangkan nilai-nilai keislaman yang universal. Perbedaan
ataupun keberagaman pandangan Partai-partai Islam terhadap Islam dan politik,
menyebabkan beragamnya pola dan perilaku masing-masing partai Islam sendiri
sangat mungkin terjadi gesekan bahkan benturan[29].
Reideologisasi Islam
Mengawali pembahasan dalam sub bab ini, kiranya perlu
dikemukakan bahwa pasca OrdeBaru (tepatnya setelah runtuhnya rezim Soeharto), PPP secara tegas
mengambil keputusan –pada Muktamar IV– untuk kembali ke khittah Islam dengan
melakukan reideologisasi Islam dan resimbolisasi Ka’bah. Untuk itu, penulis akan meninjau
tentang seberapa jauh ideologi Islam
berperan dalam perolehan suara PPP.
Pertama, permasalahan muncul atas semakin
meluasnya pragmatisme politik di Indonesia. Terutama bagi partai-partai
politikkhususnya partai-partai Islam yang
mulai terbentur antara identitas partai dengan
politik rasional. Kedua, tuntutan bagi partai-partai Islam, khususnya PPP
dalam menghadapi gelombang modernisasi sistem politik.
Partai politik tentu mempunyai asas ideologi yang berfungsi sebagai landasan, dan platform
dalam menjalankan roda kehidupannya. Asas ideology partai merupakan ruh yang menjadi sumber
inspirasi dan motivasi penggerak kehidupan suatu partai. Selanjutnya, asas
ideologi akan menentukan identitas perjuangan darisuatu partai[30]. Oleh karena
itu, PPP secara tegas menyatakan asas ideologi partainya adalah Islam[31]
dan dalam platform-nya disebutkan bahwa tujuan partai
adalah mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan kehendak Allah, dalam
bentuk negara-bangsa Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila, untuk membangun sebuah tatanan politik yang
demokratis atas dasar etika Islam (al-akhlaq al-karimah), dan untuk menciptakan
kehidupan yang Islami[32].
Munculnya Islam sebagai kekuatan politik yang tercermin dari berdirinya partai Islam,
pada dasarnya merupakan bagian dari dinamika politik bangsa ini[33].
Menurut Salahuddin Wahid, keberadaan partai Islam adalah suatu cerminan dari
kebutuhan masyarakat. Misalnya, PPP melakukan reideologisasi Islam dan resimbolisasi
Ka’bah juga karena tuntutan dari parapendukungnya[34]. PPPsangat jelas mengandalkan kekuatannya
–yakni Islam– dalam menggalang massa didasarkanatas hubungan emosional keagamaan
tersebut. Primordialisme agama diharapkan akanmenjadi “lem perekat” antara massa dengan elit partai[35].
George M. Marsden menyatakan bahwa “Agama tetap merupakan salah satu
indikator terbaik tentang perilaku politik. Agama mempunyai banyak
hubungan dengan politik. Karena agama membentuk dan memperkuat visi-visi
moral.”[36] Akan tetapi, pandangan miring tentang relevansi Islam –sebagai agama–
dengan perilaku politik pemeluknya datang dari Huntington, menurutnya
masyarakat Islam merupakan masyarakat yang asing terhadappartisipasi politik[37].
Meskipun demikian, pandangan Huntington tersebut dibantah
oleh Saeful Mujani, yang menulis, “klaim
Huntington bahwa partisipasi politik terkait dengan objek Islam… juga terbantah
dalam kasus masyarakat Muslim Indonesia. Kaum Muslim berpartisipasi dalam
aktivitas politik apa pun tanpa melihat karakteristik objek partisipasi,
entah Islami atau tidak Islami.”[38]
Oleh karena itu, kecenderungan menggunakan agama (Islam), untuk
dijadikan sebagai asas ideologi partai semakin kuat dan banyak diminati.
Misalnya, PPP, langkah itu diambil sebagai upaya untuk memperoleh kembali
konstituen Islam. Selain itu, pemakaian Ka’bah bertujuan menunjukkan komitmen
partai pada nilai-nilai Islam.
Sehubungan dengan itu, ternyata kunci kekuatan Muslim di Indonesia menghadiri pertemuan
masyarakat setempat, mengorganisasikan masyarakat untuk memecah masalah bersama,
bekerja sama, menghubungi pejabat publik, menghadiri rapat
umum dalam musim kampanye, berpartisipasi dalam pawai politik, membantu partai politik,
mengorganisasikan dan menandatangani petisi untuk masalah publik,
bahkan berpartisipasidalam demonstrasi dan aksi politik langsung yang lain. Seluruh
aktivitas politik ini terkait secara positif dan signifikan dengan Islam.
Dalam beberapa tahun terakhir, partai-partai keagamaan (ke-Islam-an) di
dunia Arab telah berhasil mengalahkan lawan-lawan sekulernya secara
meyakinkan, karena para kandidat Islamis terbukti sukses di tempat pemilihan. Misalnya, pada
pemilu Irak (2005), aliansi Syi’ah memenangi 128 dari
275 kursi. Di Palestina, pada pemilu pertama, Hamas menang telak atas partai Fatah (partai
sekuler). Di Mesir, Ikhwanul Muslimin memperoleh seperlima kursi
parlemen. Di Turki, pada pemilu anggota parlemen (2002), AKP
(Partai Pembangunan dan Keadilan) berhasil memenangi mayoritas suara di parlemen. Para Islamis bermain kuat dalam pemungutan suara di Arab Saudi (2005), dengan Islamis moderat memenangi semua kursi di Dewan Kota Makkah dan Madinah.
Kepemimpinan dan Perilaku Elit PPP
Momentum Muktamar (suksesi) di suatu organisasi partai politik (khususnya PPP)
menjadi bahan diskusi yang menarik. Di samping, akan ada perubahan
pada struktural kepemimpinan, terkadang juga memunculkan perselisihan atau
bahkan perpecahan di tubuh partai, yaitu antarkubu
atau kelompok yang kalah dengan kubu yang menang dalam muktamar tersebut. Dan juga tidak menutup
kemungkinan akan mempengaruhi integrasi partai tersebut. Selaras dengan
itu, menurut Hadimulyo, “setiap selesai musyawarah [Muktamar] seperti itu,
itu apa yang terjadi, itu kan pasti ada yang kalah, ada yang
tidak tertampung.” Sehingga dinamika kepemimpinan terletak di sana[39].76
Seperti pada Muktamar V PPP, yang
sempat memunculkan wacana “peremajaan partai,”
sampai-sampai terbentuk kaukus lintas faksi yang digerakkan oleh
kalangan muda seperti Arif Mudatsir Mandan
dan Endin Soefihara dari unsur NU
yang pro-Hamzah Haz, serta Usamah Hisyam
dan Hadimulyo dari unsur Parmusi yang pro-Bachtiar Chamsyah. Kedua kubu
tertemu dalam isu regenerasi. Namun, ada
resiko lain setelah kaukus muda terjebak pada perkubuan dua
kandidat. Soliditas kaukus muda PPP tersebut, sepertinya
belum terbebas dari irama permainan golongan tua[40].
Oleh karena, masing-masing dari kubu
kalangan muda, tidak mencoba untuk mendukung golongan muda
sendiri. Malah lebih memilih untuk mendukung tokoh senior mereka. Menurut Arif
Mudatsir Mandan, Bachtiar Chamsyah, hanya mendapat dukungan dari
unsur Parmusi saja. Sedangkan Hamzah Haz didukung dari semua unsur: NU, sebagai
basis utama Hamzah Haz, sebagian Parmusi, SI, dan Perti. Tokoh Parmusi yang
diklaim pro-Hamzah itu, antara lain, adalah
Alimarwan Hanan, Hazrul Azwar dan Thahir Saimina. Sedangkan dari SI ada
nama Sukardi Harun dan dari Perti ada Yudho Paripurno[41].
Model perkubuan pada Muktamar V PPP, sebenarnya mengulang dengan apa yang terjadi
pada Muktamar IV. Saat itu, Hamzah Haz bersaing dengan A.M. Saefuddin. Oleh
karena itu, Zarkasih Noer menyebutkannya
persaingan Parmusi dan lintas unsur, karena A.M. Saefuddin hanya memasukkan
orang Parmusi dalam komposisi formaturnya, seperti Bachtiar
Chamsyah, Ali Hardi Kiai Demak, dan Rusydi Hamka. Sedangkan, Hamzah Haz
menawarkan komposisi beragam. Selain nama Karmani (NU), ada juga
Alimarwan Hanan (Parmusi), Syaiful Anwar Husein (SI), dan Yudho
Paripurno (Perti). Hamzah Haz, akhirnya mampu memperoleh 255 suara. Sedangkan A.M.
Saefuddin mendapatkan 177 suara. Pendukung Saefuddin tetap mendukung Bachtiar. Sedangkan pendukung
Hamzah Haz juga tetap setia di kubu lama[42].
Selanjutnya, hasil muktamar V PPP –dengan terpilih kembali Hamzah Haz sebagai ketua umum
PPP– menyisakan kekecewaan di kubu Bachtiar Chamsyah. Ia mengatakan
“saya tidak happy (dengan kepengurusan baru).” Bachtiar Chamsyah yang mengklaim mendapat dukungan
16 DPW PPP, tidak berhasrat membentuk PPP tandingan atau mendirikan partai
politik baru. Berbeda dengan tokoh
lain yang tidak puas dengan kepemimpinan Hamzah Haz, seperti Zaenuddin M.Z yang
kemudian mendirikan PPP tandingan dan akhirnya bersama-sama sebagai
kontestan pada pemilu 2004 dengan nama PBR (Partai Bintang Reformasi)[43].
Kejadian tersebut, secara tidak langsung berdampak bagi kesolidan dan integrasi di tubuh
PPP sendiri[44]. Dinamika kepemimpinan seperti inilah yang menyebabkan para pemilih tradisional merasa
apatis terhadap PPP. Alhasil, kepemimpinan di tubuh
PPP berjalan sendiri-sendiri, tidak satu komando. Padahal integrasi
kepemimpinan adalah faktor penting agar mampu menjalankan roda
organisasi secara maksimal. Oleh karena itu, Umadi Radi melihat bahwa
aspek kepemimpinan partai merupakan salah satu penyebab munculnya kemelut di
tubuh PPP[45].
Yang sedikitnya akan menyumbang dan bahkan menyebabkan disintegrasi di
tubuhnya sendiri. Sementara itu, Hadimulyo juga menyatakan hal yang hampir
sama, menurutnya, masalah kepemimpinan PPP menjadi krusial[46].
Dan bagi media massa dan juga ilmuwan sampai pegiat politik, Hal itu dipicu oleh pembatalan Muktamar (2003), menurut Bahtiar Effendy[47], partai yang mestinya sudah cukup terlembagakan ini bisa menghindari perpecahan.
Akan tetapi, Setelah pidato Hamzah di Surabaya, dinilai sebagian tokoh PPP,
tidak memberi isyarat penyelesaian akar konflik. Oleh karena itu, mereka berketetapan
untuk mendirikan PPP Reformasi. Beliau juga memaparkan pernyataan yang hampir sama maknanya yaitu soal kepemimpinan juga
tidak kalah penting bagi PPP. Karena partai
ini merupakan partai Fusi yang terdiri dari empat unsur, NU, MI
(Parmusi), SI dan Perti. Unsur-unsur utama pendukung PPP, inilah yang terjadi dinamika,
persaingan, kompetisi internal di dalam pengambilan keputusan
partai, baik dari Muktamar, Musyawarah Wilayah, Musyawarah
Daerah sampai pada tingkat ranting[48].
Peristiwa PPP menarik karena drama konflik elit di dalamnya. Pertentangan dan kompetisi tokoh
yang berpengaruh, selalu menimbulkan sensasi. Personalitas, aroma kekuasaan,
manuver dan trik kompetisi, selalu menjadi bumbu yang membuat peristiwa itu
menarik untuk diikuti[49]. Sedangkan pada Muktamar VI PPP, juga terjadi kemelut
yang akhirnya berbuah perpecahan
antara kubu yang menang dengan kubu yang kalah. Kali ini juga hampir sama dengan
suksesi kepemimpinan sebelumnya, yaitu pertarungan antara Hamzah Haz yang
mendukung Arief Mudatsir Mandan dengan Bachtiar Chamsyah yang mendukung
Suryadharma Ali. Pada akhirnya, Suryadharma meraih 365 suara,
mengalahkan pesaing utamanya, Arief yang memperoleh 325 suara[50].
Setelah penetapan Suryadharma sebagai ketua
umum baru, Hamzah pernah ditawari duduk sebagai pengurus
partai. Akan tetapi, ia menolak tawaran tersebut dengan alasan ingin fokus beribadah saja[51].
Meskipun demikian, keluarnya Hamzah Haz tetap saja mengindikasikan terjadi disintegrasi
padakepemimpinan di tubuh Partai Ka’bah ini. Kemelut di tubuh PPP sempat
juga terjadi antara Suryadharma Ali dengan Bachtiar Chamsyah (padahal dulu
pernah bersama dalam suksesi kepemimpinan). Sikap politik
Bachtiar Chamsyah sebagai Ketua MPP PPP berlawanan dengan Ketua Umum Suryadharma Ali dalam soal
mendukung capres. Suryadharma memberikan kesempatan kepada calon lain untuk menjadikan PPP sebagai partner dalam mengincar posisi Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan, Bachtiar Chamsyah sudah cenderung
meletakkan pilihan kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Terlalu seringnya kemelut (konflik) yang menghinggap di tubuh
PPP, menjadi boomerang bagi partai ini sendiri.
Pemimpin atau elit PPP masih belum mampu
melakukan integrasi partai secara menyeluruh. Dan
juga faksi-faksi yang ada di partai berlambang Ka’bah ini, merupakan
salah satu factor yang menyebabkan partai sulit untuk menyatukan komitmenpolitiknya
Penutup
Setelah jatuhnya kekuasaan otoritarian Soeharto, demokratisasi di bidang politik
melahirkan aroma kebebasan yang sangat luar biasa. Semestinya hal itu bisa menjadi
momentum bagi PPP sebagai partai Islam melakukan
kreasi dan manuver politik untuk meraih simpati publik sebanyak-banyaknya. Akan tetapi,
yang terjadi malah sebaliknya, pada era demokratis
tersebut, partai tersebut mengalami kemerosotan perolehan suara dari pemilu 1999, 2004 sampai pemilu 2009.
Daftar Rujukan
Buku
A.,Denny J. 2006. Jalan Panjang Reformasi.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
————–.2006. Manuver Elit, Konflik dan Konservatisme Politik. Yogyakarta: LKIS.
Effendy, Bahtiar. 2000. (Re)politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?. Bandung: Mizan.
———————.2005. Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah. Jakarta:
Ushul Press.
———————.2009. Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam diIndonesia. Jakarta: Paramadina.
Huntington, Samuel P. 1995. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Penerjemah Asril Marjohan. Jakarta: PT Grafiti.
—————————-.1983. Tertib Politik di dalam Masyarakat yang Sedang Berubah. Penerjemah Sahat Simamora dan Suryatim. Jakarta: CV Rajawali.
Huntington, Samuel P. dan Nelson. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Penerjemah Sahat Simamora. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Karim, M. Rusli. 1983. Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Pasang Surut. Jakarta: Rajawali Press.
——————–. 1992. Islam dan Konflik Politik Era Orde Baru. Yogyakarta: Media Widya Mandala.
Liddle, Robert William. 1997. Islam, Politik dan Modernisasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Mage,Ruslan Ismail. 2009. Industri Politik: Strategi Investasi Politik dalam Pasar Demokrasi. Jakarta: PT Wahana
Semesta Intermedia.
Marsden, George M. 1996. Agama dan Budaya Amerika.Penerjemah B. Dicky Soetadi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Mashad, Dhurorudin. 2008. Akar Konflik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Kautsar.
Mujani, Saiful. 2007. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Bogor:Ghalia Indonesia.
O’Donnell, Guillermo dan Scmitter. 1992. Transisi Menuju Demokrasi: Kasus Eropa Selatan. Penerjemah Hartono Jakarta: LP3S.
—————-. 1993. Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian. Penerjemah Nurul Agustina. Jakarta: LP3S.
Purwoko, Dwi, dkk. 2001. Nasionalis Islam vs Nasionalis Sekuler. Jakarta: PT Permata Artistika Kreasi.
Radi,Umaidi. 1984. Strategi PPP 1973-1982: Suatu Studi Tentang Kekuatan Politik Islam Tingkat Nasional. Jakarta:
Integrita Press.
Rais, Lukman Fatahullah, ed. 1995. Menuju Partai Masa Depan: Pemikiran dan Gagasan tentang PPP. Jakarta: Media Da’wah.
Sahdan, Gregorius. 2004. Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto. Yogyakarta: Pondok Edukasi.
Setiawan, Bambang, dan Naingggolan, Bestian, ed. 2004. Partai-partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program
2004-2009. Jakarta: Kompas.
Sorensen, Georg. 2003. Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang sedang
Berubah. Yogyakarta: CCSS dan Pustaka Pelajar.
Winarno, Budi. 2007. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Media Pressindo.
Karni, Asrori S. dan Dalle, Zainal. “Ada Unsur dalam Fusi.” GATRA, no. 27 (Mei 2003):h. 78.
Karni,Asrori S. dan Hidayat, Rachmat. “Gelora Remaja 40 Tahunan.” GATRA, no. 28 (Mei 2003): h. 41.
Karni, Asrori S. dkk. “Golkar Digandeng, Kalla Dipantau.” GATRA, no. 23 (April 2009):h. 98.
Wijaya, M. Taufik Budi., dkk. “Plus-Minus Gerbong Hamzah.” Medium, (Juli 2003): h. 29.
Wawancara
Wawancara Pribadi dengan Hadimulyo, Pamulang, Tangerang Selatan, 04 Februari 2011.
Dokumen Muktamar PPP
Ketetapan Muktamar VI Partai Persatuan Pembangunan tentang Khitthah dan Program Perjuangan Partai.
Dokumen Elektronik
“Putuskan Tak Aktif di PPP, Hamzah Haz Ingin Perbanyak Ibadah.” Rakyat Merdeka,artikel atau berita ini diakses pada
14 Februari 2007 dari http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2007/02/14/
[1] Alumnus Jurusan Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2011
[2]Rene Klaff, “Prinsip-prinsip Dasar Demokrasi dan Pemerintahan yang Baik” dalam Ulil
Abshar-Abdalla, ed., Islam & Barat: Demokrasi dalam Masyarakat Islam (Jakarta: FNS Indonesia, 2002), h. 109.
[3] Ruslan Ismail Mage, Industri Politik: Strategi Investasi Politik dalam Pasar Demokrasi
(Jakarta: PT Wahana Semesta Intermedia, 2009), h. 61.2
[4] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina,
2009), h. 373.8
[5] Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, h. 100.
[6] Dwi Purwoko dkk, Nasionalis Islam vs Nasionalis Sekuler (Jakarta:
PT Permata Artistika Kreasi, 2001), h. 49-50.
[7] Dalam hal ini, Dhurorudin tidak mengkategorikan PAN sebagai partai
politik Islam. Lihat Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, h. 137-138; Berbeda
dengan Arsekal Salim yang mengkategorikan PAN sebagai partai politik Islam. Lihat Arsekal
Salim, Partai Islam dan Relasi Agama-Negara (Jakarta: Pusat Penelitian IAIN Jakarta,
1999), h. 7-12 dalam Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi
Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 373-374.
[8] Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, h. 138-139.
[9] Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, h. 273.
[10] Meminjam istilah Bahtiar Effendy yang disampaikan saat kuliah Ilmu Politik VII pada mata kuliah
“Pendekatan-Pendekatan Politik Islam Indonesia”. Menurutnya, awal reformasi
(1999,2000, 2001, 2002 dan 2003), partai-partai politik Islam mengalami periode reideologisasi yaitu periode
yang menginginkan penyegaran dan penguatan ideologi partai yang berdasarkan atas asas/ideologi Islam. Pada
masa itu dipelopori oleh beberapa tokoh pimpinan partai politik yaitu Yusril Ihza Mahendra, Hamzah Haz dan lain-lain.
[11] Moh. Nazir, Metode Penelitian, h. 55.
[12] Ibid., h. 37.14
[13] Gregorius Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, h. 35-36.
[14] Robert William Liddle, Islam, Politik dan Modernisasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1997),
h. 163.
[15] Gregorius Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, h. 7.
[16] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 372-373.80
[17] Guillermo O’Donnell, Phillippe C. Scmitter dan Laurence Whitehead, Transisi Menuju
Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian. Penerjemah Nurul
Agustina (Jakarta: LP3S, 1993), h. 77.
[18] Guillermo O’Donnell dan Phillippe C. Scmitter, Transisi Menuju
Demokrasi: Kasus Eropa Selatan, h. 143.
[19] Guillermo O’Donnell, Phillippe C. Scmitter dan Laurence Whitehead, Transisi Menuju
Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, h. 87.82
[20] Guillermo O’Donnell, Phillippe C. Scmitter dan Laurence Whitehead, Transisi Menuju
Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, h. 93.
[21] Mikhail Gorbachev mempunyai tiga gagasan ide gerakan pembaharuan atas Uni Sovyet, yaitu
ide TRED, transparansi (keterbukaan), restrukturisasi, dan demokratisasi.83
[22] Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah, h. 105-106.
[23] Samuel P. Huntington, Tertib Politik di dalam Masyarakat yang Sedang Berubah, h.662-663.84
[24] Sebenarnya, pemikiran tersebut merupakan temuan dari
Charles F. Andrian. Lihat Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, h. 41 dan 160.
[25] Ibid., h. 163.
[26] Lihat Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, h. 162. Lihat juga M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era
Orde Baru, h. 177.
[27] M. Arskal Salim, “Fragmentasi Politik Islam” dalam Abdul Mun’im, ed., Islam di Tengah Arus Transisi, h. 126.
[28] Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, h. 170-172.
[29] A.M. Fatwa, “Satu Islam Banyak Partai” dalam Abdul Mun’im ed., Islam di Tengah Arus Transisi, h. 124.
[30] A.M. Fatwa, “Satu Islam Banyak Partai” dalam Abdul Mun’im ed., Islam di Tengah Arus Transisi, h. 121.
[31] Hasil Muktamar VI PPP tentang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
[32] Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipai Politik di Indonesia
Pasca Orde Baru, h. 76; Bambang Setiawan dan Bestian Naingggolan ed.,
Partai-partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009 (Jakarta: Kompas, 2004), h. 100.
[33] Agus Muhammad, “Redefinisi Politik Islam” dalam Abdul Mun’im ed., Islam di Tengah Arus Transisi, h. 100.
[34] Salahuddin Wahid, “Partai (Berciri) Islam di dalam Bangsa yang Majemuk” dalam Abdul Mun’im ed., Islam di Tengah Arus
Transisi, h. 111.
[35] M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Pasang Surut, h. 204.
[36] George M. Marsden, Agama dan Budaya Amerika. Penerjemah B. Dicky Soetadi (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1996), h. 149-150.
[37] Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipai Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, h. 253
[38] Lihat Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, BudayaDemokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, h. 271.
[39] Wawancara pribadi dengan Hadimulyo.
[40] Asrori S. Karni dan Rachmat Hidayat, “Gelora Remaja 40 Tahunan,” Majalah GATRA, no. 28 (Mei 2003): h. 41.
[41] Asrori S. Karni dan Zainal Dalle, “Ada Unsur dalam Fusi,” Majalah GATRA, no. 27 (Mei 2003): h.78.
[42]Ibid., h. 78.102
[43] M. Taufik Budi Wijaya, dkk., “Plus-Minus Gerbong Hamzah,” Majalah Medium, (Juli 2003): h. 29.
[44] M. Taufik Budi Wijaya, dkk., “Plus-Minus Gerbong Hamzah,” h. 30.
[45] Umaidi Radi,Strategi PPP 1973-1982: Suatu Studi Tentang Kekuatan Politik Islam Tingkat Nasional, h. 52-53.
[46] Hadimulyo, “Parpol dalam Orde Reformasi” dalam Musa Kazhim dan Alfian Hamzah, 5 Partai
Dalam Timbangan, h. 316-317.
[47] Lihat Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam, h. 116.
[48] Wawancara dengan Hadimulyo
[49] Denny J.A., Jalan Panjang Reformasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 290.
[50] Yang menarik pada Muktamar VI PPP adalah sudah tidak lagi terlihat head
to head antara unsur satu denganunsur lainnya. Faktanya adalah Suryadharma Ali merupakan kader NU, akan
tetapi, ia mendapatkan dukungan dari Bachtiar Chamsyah yang notabene
MI (Parmusi). Sebelumnya padaMuktamar IV dan V PPP, terlihat dengan kasat mata pertarungan antara
unsur MI (Parmusi) dengan unsur NU, Perti, SI dan ditambah sebagian berasal dari unsur MI.
[51] Rakyat Merdeka, “Putuskan Tak Aktif di PPP, Hamzah Haz Ingin Perbanyak Ibadah,” artikel ini
diakses pada 14 Februari 2007 darihttp://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2007/02/14/104