RUNTUHNYA  KEJAYAAN MASYARAKAT PERKENIER DI KEPULAUAN
BANDA PADA MASA  KOLONIAL HINDIA-BELANDA

Lilie Suratminto[1]

 Abstract

Dutch Government judged Banda as their own and divided into vrijeburger (Free European) then
called perkenier. They reached a field (called perk). The perkenier duty as a tenant must obey to landheer (VOC). The prize of nutmeg was decided by VOC and was sold in Amsterdam with the high prize. The condition of
prize did not change because VOC gave strong influence for perkenier and they obey VOC’s rules. Perkenier spent a lot of money
for their owns and made luxurious house. The changing of political condition in
the last of 19 century gave negative impact for perkenier. They did not have much money and started to sell their
field for the other people. They left their own and Banda became the silent island

Key Words: Perkenier, Banda,
Dutch Government

 

Dalam penelitian saya di gereja Maranatha di Banda
Neira (November 2008) saya menjumpai 28 buah batu nisan masa VOC. Semua nisan
dalam keadaan terawat baik. Di antara batu-batu nisan tersebut ada 4 buah yang
menarik saya karena dalam inskripsinya disebutkan kata PERQUENIER di depan nama
yang dimakamkan di situ. Dalam penelitian ini ditemukan beberapa buah batu nisan
dengan nama jabatan yang sama, antara lain  Christoffel (+ 1735), Abraham Frans de Waalsche (+ 1740),  dan Johannes van Surker (+ 1697) dan lain-lain.

 

Kepulauan Banda

Setelah menaklukkan dan merebut Malaka
sebagai  pusat perdagangan Asia  pada tahun 1511 Portugis di bawah Alfonso d’Albuquerque
pada tahun 1512 mengirimkan armada dagangnya di bawah Antonio d’Abreo, Simon
Alfonso dan Francisco Serano ke Maluku. Pertama-tama mereka sampai di daerah
raja Ampat  yang terdiri dari kesultanan
Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo kemudian mereka berlayar ke  Ambon dan Kepulauan Banda. Pada saat mereka
berlayar kembali ke Malaka, kapal mereka pecah dihantam ombak. Francisco Serano
dan beberapa awak kapalnya selamat dan mereka mendarat  di Ambon, tepatnya di pantai Assilulu Hitu.

Kepulauan Banda yang kaya akan rempah-rempah terutama pala, fuli, kenari dan lain-lain terdiri dari pulau Banda Besar atau
Lonthoir (Lontor), Neira,  Gunung Api, Ay, Run, Nilaka, Rozengain atau Rosengin (Hatta), Pisang (Syahrir) dan beberapa
pulau kecil lain semuanya berjumlah sepuluh buah.  Pulau Lonthoir adalah pulau yang banyak
terdapat pohon lontar. Orang asing sulit menyebut lontar dan diplesetkan menjadi Lonthoir.
Demikian juga untuk pulau Neira, sesuai dengan namanya, neira berasal dari kata
nira yang disadap dari pohon enau.

 

Bangsa Pendatang

Setelah kedatangan orang  Portugis, berturut-turut datang ke Banda
adalah armada Spanyol di bawah Fernaô de Magelhaens yang melalui Sangani dan
kepulauan Siau kedua kapalnya sampai di Tidore di mana mereka mendirikan kantor
dagang di sana pada tahun 1521.Magelhaens terbunuh saat membantu peperangan
raja Cebu dengan Mindanao.

Kemudian datang armada Inggris  berturut-turut di bawah Sir Francis Drake (1577), Cavendish  (1586)
dan Lancaster (1591). Mereka menduduki pulau Run.  Setelah itu datang armada Prancis dan
Denmark, tetapi mereka hanya singgah saja.
Dengan disatukannya Portugal dengan Spanyol tahun 1580, maka  kantor-kantor dagang Belanda di Lisabon ditutup
karena pada saat itu Republik Belanda Serikat (Republiek der Verenigde Nederlanden) sedang berperang melawan
Spanyol (Perang 80 tahun). Orang Belanda memindahkan kantornya ke  Amsterdam dan mereka dengan berbagai cara
berusaha  mencari jalan ke pusat rempah-rempah (van der Wall 1928:2). Armada dagang
Belanda yang berhasil menemukan jalan ke Hidia-Timur berturut-turut
dipimpin oleh Petrus Plancius, Cornelis de Houtman, Jan Huygen van Linschoten,
Pieter Dirksz, de Keyzer dan lain-lain. Mereka ini melakukan ’pelayaran berbahaya’
(wilde vaart) karena di samping melawan orang-orang Kastilia (Spanyol)
dan Lusitania (Portugis), juga melawan orang Inggris dengan kongsi
dagang Hindia Timur (EIC) mereka. Persaingan dagang di antara sesama kongsi dagang Belanda yang masing-masing
mencari keuntungan  sendiri  yang menjadi semakin tidak sehat berakhir
setelah didirikan Badan Usaha Dagang Belanda di Asia VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) pada tanggal 20 Maret 1602 atas
inisiatif negarawan Belanda Johan van Olden Barnevelt yang didukung oleh
Pangeran Maurits.

Armada Belanda yang terdiri dari 7 buah kapal di bawah Steven van der Haghen pada tahun 1605 merebut
Leitimor dari Portugis merupakan awal proses kolonisasi Belanda yang panjang di
Nusantara. Berturut-turut Belanda merebut benteng Portugis yang kemuidan
dinamai benteng  Toluko, Oranye, Kalamata (ketiganya di Ternate), Kota Laha yang kemudian disebut Victoria (Ambon),
Belgica dan Nassau (Neira), Hollandia (Lonthoir) dan Ravenge (Pulau Ay).  Dengan demikian Belanda dapat bergerak dengan
bebas di kepulauan Maluku tanpa rintangan yang berarti. Mereka berusaha
menerapkan monopoli perdagangan rempah dengan penduduk asli Maluku, suatu
sistem perdagangan yang tidak lazim dan melawan kultur setempat yang biasa melakukan
perdagangan bebas. hal ini sangat menekan perasaan penduduk Maluku.

 

Kejatuhan Banda ke Tangan Belanda

Pemaksaan monopoli dagang di Maluku bukannya tidak
menuai keretakan hubungan antara penduduk asli sebagai pemilik komoditi dan
para pedagang lain misalnya bangsa Cina dan Arab dan berbagai suku bangsa di Indonesia.  Orang-orang Banda  masih tetap melakukan perdagangan bebas dengan  para pendatang. Hal ini membuat
marah orang Belanda yang merasa telah memiliki kepulauan ini karena  mereka telah berhasil merebut wilayah ini
dengan peperangan.  Pada tahun 1609
armada VOC di bawah pimpinan Verhoeff dan Wittered  mencoba menduduki kepulauan Banda. Ekspedisi
ini gagal karena  Verhoeff tewas dalam pertempuran melawan penduduk (Sejarah Maluku 1977: 66).  Atas perintah Jan
Pieterzoon Coen pada tahun 1621 dilaksanakan ekspedisi  untuk menghancurkan tanaman pala dan dengan
sangat kejam pasukan mereka  membantai ribuan penduduk asli kepulauan Banda.  Sisanya
yang masih hidup  melarikan diri ke pulau-pulau lain.

 

 Terbentuknya Komunitas Perkenier di Kepulauan Banda

Seusai perang keadaan pulau Banda seperti daerah
yang mati karena sebagian besar penduduknya sudah mati dibunuh atau mati
kelaparan karena blokade pasukan VOC dan yang selamat melarikan diri ke
Makassar dan lain-lain. Mereka yang tertangkap Belanda  sebagaian diangkut ke Batavia sebagai budak
belian dan mereka tinggal di kampung Bandan.
JP Coen yang berjiwa pedagang mengambil inisiatif untuk membudidayakan
pala dan fuli dengan mendatangkan orang-orang Eropa bebas (vrijburgers) untuk mengusahakan perkebunan pala. Para vrijburger ini mendapat sebidang tanah yang luas yang disebut perk dan pemeliknya
disebut perkenier. Status perkenier adalah sebagai leenman ’penyewa’ dan pihak Kompeni
sebagai leenheer ’tuan tanah’. Menurut Resolutie Gouverneur Generaal en Raad van
Indië
tgl 5 April 1621  seluruh Kepulauan Banda dibagi atas 68 perkenier
(pekebun rempah-rempah) dengan perincian sebagai berikut: 3 buah di Neira, 34
buah di Lontoir, 31 buah di Ay. Luas perk (tanah perkebunan) berkisar antara 625 roeden
persegi yaitu antara 12 hektar sampai dengan 30 hektar (Van der Wall 1928:74;  Des Alwi 2007: 124)

 

Perkenier dan perannya bagi Kompeni

Tanggal 5 April 1621 dianggap sebagai hari
berdirinya Badan Perkenier.  Dalam resoluitie  ditetapkan bahwa di ketiga pulau di Kepulauan
Banda didirikan 68 perkenier dan 1700 budak belian, jadi setiap perkenier dibantu 25 orang budak.
Setelah panen setiap  perkenier harus menyetorkan sekitar 4500 rijksdaalder (ringgit)
setiap tahunnya. Antara tahun 1700-1750 adalah masa yang paling cemerlang
karena perusahaan perkebunan ini banyak memberikan keuntungan. Para perkenier
terdiri dari warga bebas Eropa atau mantan pejabat VOC yang tidak mau
meninggalkan Hindia. Mereka diwajibkan menjual hasil perkebunan pala dan fuli
mereka hanya kepada Kompeni. Kompeni sangat rakus dan tamak dan sangat pelit
dalam membeli hasil rempah-rempah tersebut. Misalnya saja mereka membeli untuk
satu pond  fuli dan biji pala di Banda seharga 7.5 ketip dan 5  sen dan mereka
menjualnya di Amsterdam dengan harga f. 3.60 dan f. 2.90. Dapat dibayangkan
betapa besarnya keuntungan yang diraup oleh Kompeni dari para perkenier ini. Hal
ini berlangsung selama lebih dari dua abad, yakni sampai masa Hindia-Belanda
pada abad 19 dan awal abad 20.

 

Kehidupan Perkenier 

Para pejabat Kompeni yang disebut perkenier dan
mereka menikah di antara sesama keluarga perkenier yangkemudian semakin
berkembang membentuk komunitas keluarga besar perkenier dan mereka dengan
demikian membentuk kelas dalam masyarakat tersendiri. Dari hasil penjualan rempah-rempah mereka kepada
Kompeni, mereka tidak dapat menjadi kaya. Kehidupan mereka sangat tergantung
dari uluran tangan Kompeni. Jiwa mereka benar-benar dirusak oleh Kompeni.
Mereka tidak ada inisiatif apalagi untuk memikirkan masa depan mereka. Yang
mereka ketahui hanya hidup berfoya-foya dan minum-minuman keras.  Bagi mereka yang tidak puas dengan Kompeni
mereka berusaha melakukan perdagangan gelap dengan menyelundupkan hasil rempah
mereka. Beberapa perkenier yang kaya
berusaha hidup seperti pangeran. Sebagai hiburan mereka memesan kodok
hidup dari Belanda. Jika muatan kodok hidup tiba, mereka sangat senang dengan
bunyi kodok-kodok tersebut laksana sebuah nyanyian  koor alami yang mengingatkan tempat kelahiran
mereka nun jauh di sana di negeri Belanda. Valentijn menggambarkan kehidupan
mereka yang tanpa tujuan dan mereka suka menjamu teman mereka yang baru tiba
dari Batavia dengan makan dan minum sampai mabok.

Salah seorang perkenier pertama dari keluarga Van den Broecke, ia berasal dari Antwerpen mantan seorang
pengusaha garmen, kemudian pindah ke Angola dan ia adalah seorang Belanda yang
pertama kali mencicipi kopi dan kemudian mengusulkan pada Kompeni untuk
memasarkannya di Belanda. Tanaman ini baru pada awal tahun 1700 diperkenalkan
di Batavia oleh Gubernur Jenderal Van Oudhoorn dan dibudidayakan di Priangan
pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Zwaardecroon. Zwaardecroon karena
keberhasilannya dalam budidaya kopi, ia memperoleh piala emas dari Dewan XVII
di Amsterdam, tetapi ia tidak sempat melihatnya karena ia keburu meninggal
dunia tahun 1728. Van den Broecke kemudian hari memiliki 3 buah perkebunan dan
1.200 budak. Dari keluarga Van der Broecke ini kemudian berkembang menjadi
berbagai keluarga yang di antara mereka bahkan menduduki posisi penting pada
Badan Usaha Dagang Belanda di Asia (VOC). Di antaranya bahkan menjadi ada yang
menjadi Gubernur Jenderal VOC misalnya Hendrik Zwaardecroon. Nama-nama keluarga
lain perkembangan dari keluarga perkenier ini misalnya antara lain: Pieter,
Johannes, Matheus dan Abraham van der Broecke, Mr. Cornelis van Beerendregt,
Mr. Adriaan Bergsma, dan lain-lain.

Masa kekemasan usaha perkebunan ini terjadi pada awal tahun 1700 s.d. 1750. Selama
dua abad perkebunan ini dirundung malang dengan terjadinya gempa hebat  dan kebakaran. Yang paling mengecewakan
diderita pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Reinier de Klerck yang
medapat julukan ”kolonis paling menderita di dunia” (de ongelukkigste kolonist ter wereld). Dalam persaingan
antarkolonis kepulauan Banda pernah dua kali diduduki oleh Inggris. Orang
Inggris tidak menerapkan monopoli pada mereka yang sudah biasa dimonopoli oleh
Kompeni. Keadaan perkebunan kemudian terlantar. Banyak pohon kemudian dibabat. Pada saat pelayaran Hongi tahun 1821, Gubernur
Jenderal van der Capellen melarang penebangan pohon pala. Setelah traktat
London 1824, Banda dikembalikan kepada Hindia-Belanda. Keadaan perkenier tidak
banyak berubah, dan Banda dimasukkan dalam residensi Maluku. Badan usaha dagang
Belanda yang beroperasi di Hindia-Belanda pada waktyu itu adalah NHM atau De Nederlandsche Handel Maatschappij. Perubahan  politik sama sekali tidak mengubah kehidupan mereka.

Kehidupan mereka sangat tenang, tidak terusik oleh dunia luar. Kehidupan mereka sangat rutin. Keseharian mereka hanyalah mengawasi para budak yang memetik   buah pala dan mengumpulkan fuli, menjemur dan mengumpulkannya dan menunggu datangnya
kapal Kompeni.

 

Runtuhnya Perkenier

Pada tahun 1864 menteri Franssen van der Putte menawarkan
kebebasan perdagangan kepada perkenier.  Selama dua abad kehidupan para perkenier
sepenuhnya bergantung pada Kompeni dan kemudian dilanjutkan oleh pemerintah
kolonial Hindia-Belanda. Pada saat diberikan kebebasan, mereka menjadi sangat gamang.
Mereka tidak biasa melakukan perdagangan bebas.
Tawaran ini kemudian menjadi keputusan dengan diterapkannya
undang-undang Agraria tahun 1870. Mereka yang selama ini sangat tergantung dari
Kompeni kemudian pada masa kolonial dilanjutkan oleh NHM, mereka harus hidup
mengurus diri sendiri dan berusaha sendiri tanpa manajemen pasti, menjadi salah
tingkah.

Tahun 1870-1890 adalah masa kejayaan kedua dari
para perkenier. Dengan kebebasan tersebut mereka hidup sangat royal. Mereka
sangat dermawan, dan ramah. Mereka membangun rumah lengkap dengan meubelair
dari Eropa. Banyak menghamburkan uang untuk membeli benda-benda seni. Mereka
tetap memegang tradisi menghormati nenek moyang mereka yang telah meninggal
dunia dengan memesan batu nisan yang indah dari India. Pada umumnya mereka
memakamkan keluarga di kebun mereka sendiri, tapi ada beberapa di antaranya yang
dimakamkan di dalam atau di halaman gereja.Mereka juga sangat taat ke gereja,
patuh kepada pemerintah dalam hal ini Kompeni  dan kerajaan Belanda.

Hampir setiap hari mereka bersenang-senang. Selalu
ada pesta baik pesta keluarga sehubungan dengan perkawinan, ulang tahun, bahkan
kematian. Semua kesempatan berkumpul perlu dipestakan dengan makanan dan
minuman yang melimpah yang mereka pesan dari Eropa. Hampir setiap perkenier
mempunyai korps musik. Mereka naik kereta yang berlapis perak. Sayangnya hidup
seperti dalam mimpi itu tidak berlangsung lama.

Banyak di antara mereka yang kemudian bangkrut dan menjual sedikit demi
sedikit perkebunan warisan turun-temurun mereka kepada orang lain. Dengan
demikian runtuhlah sendi-sendi kehidupan perkenier yang selama ini menopang
perekonomian Belanda. Sekarang tidak ada lagi pesta. Semua keindahan baik
tempat tinggal maupun alam kepulauan Banda terpaksa mereka tinggalkan.  Tidak ada lagi anak-anak mereka bermain di
halaman rumah warisan leluhur mereka. Perkebunan milik Van den Broecke,
Hardecop, Pietersz., Soet, Van Surker, Thyson, Leurs, Bieswanger dan Brantzoon,
nama-nama yang dilaporkan oleh Valentijn pada tahun 1724 dalam Oud en Nieuw Oost Indiën telah tinggal
kenangan. Semua kini telah hancur.

Putusan untuk memberikan kebebasan ini bukannya tidak beralasan. Harga pala dan fuli dan cengkeh  pada saat itu sudah mengalami titik terendah. Dunia saat itu tidak lagi
melihat Maluku termasuk Banda sebagai satu-satunya pusat rempah-rempah.  Inggris selama pendudukan di Banda telah
mengusahakan tanaman pala di Bengkulu, Penang dan lain-lain. Di samping itu
Inggris juga menanam cengkeh di Manado dan pantai selatan Jawa Timur. Prancis
menanam cengkeh besar-besaran di Zanzibar Afrika. Sebaliknya para perkenier
tidak bisa membaca tanda-tanda itu karena mereka sudah biasa hidup
dininabobokkan oleh penguasa. Kehidupan masa keemasan sudah lewat.

Penutup

Menurut catatan sejarah, tiada sesuatu pun yang
abadi dalam dunia ini. Sesuatu yang tadinya diusahakan dengan penuh pengorbanan
yang kemudian banyak menghasilkan keuntungan luar biasa kemudian hari akan
lenyap. Timbul dan tenggelamnya suatu peradaban selalu berkaitan erat dengan
politik pemerintahan. Keberadaan masyarakat perkenier ini dapat dijadikan
contoh. Dengan kemapanan masyarakat tersebut dan suatu keadaan yang memang
sengaja diciptakan oleh penguasa dalam hal ini Badan Usaha Dagang Belanda di
Asia (VOC) dan Perusahaan Dagang Belanda (NHM) membuat perkenier menjadi orang
yang pasif, tidak berdaya dan selalu menggantungkan diri dari pemerintah. Kemapanan  berabad-abad ini membuat mereka enggan atau tidak pernah berpikir tentang masa depan mereka. Dengan perubahan sistem membuat
mereka hidup dalam mimpi sesaat tanpa ditopang oleh  pijakan yang kuat, menjadikan kemapanan ini  runtuh berkeping-keping.

Dari warisan budaya peninggalan hasil karya masa kejayaan perkenier misalnya bangunan gereja yang
kini masih megah, istana mini dan di samping itu komplek rumah-rumah para
perkenier  yang dikelilingi oleh tembok tebal dan gerbang yang  masih nampak
kokoh serta bangunan rumah yang sebagaian besar telah merupakan puing-puing
dapat dibayangkan betapa makmurnya kehidupan mereka di masa itu. Sejarah
kehidupan mereka dapat menjadi pelajaran bagi kita semua, khususnya untuk para
pemuda generasi penerus bangsa,  untuk kegemilangan dan kejayaan Indonesia di masa yang akan datang. Semoga.

  

Daftar Rujukan

 Alwi, D. 2006. Sejarah Banda Naira. Malang: Pustaka Bayan & YWBBN.

Djafaar, Irza Arnyta. 2007. Jejak Portugis di Maluku Utara. Yogyakarta: Ombak.

Hanna, WA. 1997. Banda, a journey through Indonesia’s fabled isles of Fire and Spice. den Pasar:
YayasanWarisan dan Budaya  Banda.

_________. 1997. Sejarah Daerah Maluku. Jakarta: Departemen pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pencatatan  Kebudayaan Daerah.

Valentijn, François. 1724-1726. Oud en Nieuw Oost-Indiën: Vervattende een naawkeurige en uitvurige verhandelinghe van Nederlands Mogentheyd in die gewesten. Amsterdam: Van Bram, Onder Linden. 5 jilid.

Van der Wall, V.I. 1928. De Nederlandsche Oudheden in de Molukken.’s Garavenhage: Martinus Nijhoff.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


[1]
Makalah ini merupakan perbaikan dari
makalah yang berjudul “Peran dan Pasang Surut  Perkenier di Keopulauan
Banda masa Kolonial”  disampaikan dalam
Seminar Hasil Penelitian Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Kampus UI Depok pada hari Kamis, tgl. 18 Desember 2008.