Departemen Sejarah Universitas Negeri Malang (UM) gelar Seminar Nasional dan Call for Paper bertajuk “Sejarah Peradaban Islam di Indonesia” pada Jumat (5/5). Kegiatan yang dihadiri ratusan peserta dengan dua pembicara ini digelar di Aula Ki Hadjar Dewantara Gd. A6 FIS UM.

Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Wakil Dekan III UM, Dr. Ahmad Munjin Nasih, M.Ag. dengan dipandu oleh moderator yang juga merupakan dosen sejarah UM, Dr. R. Reza Hudiyanto, M.Hum.

Sebagai pembicara, hadir Prof. Dr. Mohd. Roslan bin Mohd. Noor, pengajar di Departemen Sejarah Peradaban Islam Universitas Malaya, Malaysia. Dalam presentasinya Roslan mengganti terminologi “Sejarah Islam Nusantara” menjadi “Sejarah Islam Melayu” dengan alasan menghindari kebingungan di masa depan ketika kata “Nusantara” digunakan sebagai nama Ibu Kota Negara (IKN).

Roslan juga mengungkapkan bahwa kajian Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, memiliki hubungan yang erat dan nilai sejarah yang sama. Namun sayangnya kajian sejarah peradaban islam di dua negara ini seringkali mengalami distorsi.

Ia menyoroti campur tangan kolonialisme dalam penulisan sejarah Islam di kedua negara tersebut yang seringkali dimanfaatkan oleh penjajah untuk kepentingan politik mereka. Fenomena campur tangan ini biasa ditemukan pada mereka yang mengkaji tentang ketimuran khususnya berkaitan dengan Islam yang didanai oleh negara kolonial.

“Ada yang memang menulis berdasarkan fakta, ada juga yang ditulis berasas politik,” terang Roslan.

Hal serupa juga terjadi dalam kasus “titik nol” atau area yang menjadi awal penyebaran Islam di Nusantara. Banyak akademisi berpendapat bahwa Kota Barus yang terletak di Sumatera Utara merupakan titik nol penyebaran Islam di Nusantara. Namun, banyak sejarawan Islam Aceh yang tidak setuju dengan hal itu.

“Perbedaan sudut pandang ini bisa saja terjadi mungkin karena metodologi yang digunakan dalam menentukan tarikh juga berbeda. Sehingga tempat yang diyakini menjadi titik awal Islam di Indonesia maupun di Malaysia pun bisa saja berbeda,” sambung Roslan.

Dalam hal ini pengajar sejarah islam asal Malaysia itu menekankan pentingnya untuk melihat kembali sejarah Islam di Indonesia dan Malaysia dengan menggunakan fakta-fakta yang akurat.

“Inilah hal yang perlu diluruskan. Jadi fakta ini yang perlu untuk kita angkat. Bila kita berbicara dengan fakta, kita jangan berbicara dengan auta,” tambah Roslan.

Pemateri kedua hadir Dr. Ari Sapto, M.Hum., dosen sejarah sekaligus dekan FIS UM. Materi kedua disampaikan dengan fokus pembahasan pada peran dan kedudukan para wali dalam politik negara khususnya di Jawa sekitar abad 16-18.

Mengawali kajian sejarahnya, pemateri menjelaskan bahwa pada dasarnya wali adalah pemaknaan dari ulama, sedangkan negara dalam konteks ini merujuk pada tiga kesultanan, yaitu Demak, Pajang, dan Mataram.

Ari menjelaskan bahwa pemahaman wawasan masyarakat terkait Wali Sanga ini perlu diperbaiki. Masyarakat saat ini mengenal istilah Wali Sanga dengan ulama yang berjumlah sembilan. Namun pada kenyataannya Wali Sanga merupakan dewan yang mengalami banyak pergantian. Penjelasan ini dapat dibuktikan dalam 22 sumber diantaranya, Babad Cirebon yang menyebut Wali Sanga berjumlah 16 dan Babad Demak yang menyebut Wali Sanga berjumlah 12.

“Pemahaman terkait Wali Sanga berjumlah 9 orang ini bersumber dari pemahaman yang paling mudah dipahami masyarakat, gampangnya 5 wali di Jawa Timur, 3 Jawa Tengah, 1 di Jawa Barat, jadi totalnya 9,” jelas Ari.

Istilah “Sanga” dalam “Wali Sanga” ini juga dijelaskan sebagai angka keramat dalam ajaran tasawuf. Sembilan lubang dalam tasawuf ini menggambarkan nafsu manusia. Seorang muslim yang sudah bisa mengendalikan sembilan lubang dalam tubuhnya diyakini bahwa orang tersebut telah memiliki tingkat keimanan yang tinggi.

Adapun inti pembahasan yang ingin disampaikan Ari Sapto adalah bagaimana para wali terdahulu pernah menduduki posisi yang bahkan lebih tinggi dari sultan dalam agama maupun perpolitikan.i contoh pe Sebagamateri menjelaskan terkait bagaimana Sunan Giri (yang berjumlah 4 wali), di mana pada masa Sunan Giri 4 yaitu Sunan Prapen, menguasai perdagangan dari Maluku hingga NTB.

“Tingginya kebesaran dan kehormatan yang dimiliki, jadi yang melantik Raden Patah itu juga Sunan Ampel dan Sunan Giri 1,” ungkap Ari.

Namun, kedudukan wali yang kuat tersebut mengalami penurunan pada masa kekuasaan Mataram. Wali yang sebelumnya memiliki legitimasi tinggi dalam pemerintahan justru mendapat perlawanan dari para penguasa. Pada masa kekuasaan VOC, kekuasaan wali semakin merosot. Hal ini menyebabkan posisi ulama melemah dan berada di bawah penguasa.

Ari Sapto menegaskan bahwa pergeseran kekuasaan ini menjadi hal yang penting untuk dipahami dalam belajar sejarah. Pemahaman mengenai peranan ulama ini juga dapat menjadi pemahaman yang lebih menyeluruh tentang sejarah Indonesia khususnya terkait perubahan politik pada masa itu.