KRITIK DAN REFLEKSI KEBUDAYAAN NASIONAL:

DULU, KINI, SERTA HENDAK KE MANA?

F. X. Domini B. B. Hera, Hersri Setiawan, dan Irawan[1]

 

Abstract

National culture is the concept that difficult to
understand and define. The process of searching definition and explanation of
it never reach the stable explanation. However most people have a problem about
the concept, the power of national culture is a social being to fight many
challenges from society. Based on national culture, Indonesian will not ask his
identity and disorientation of being Indonesian

Key Words: Culture, National Culture, Social Being

 “Sedikitnya 10 bahasa daerah punah dan 32 lainnya terancam punah

akibat pemimpin yang keminggris’!

– Kolom Mang Usil, OPINI KOMPAS, Rabu 27 Juli 2011, hlm.6.

Sentilan Mang Usil di atas merupakan berita dan isyarat sekaligus: bahwa lampu-kuning
rambu perjalanan Kebudayaan Nasional Indonesia telah menyala. Lampu kuning ini
dalam bilangan detik tentu akan segera berubah menjadi merah. Apabila keadaan
demikian terjadi, itu pertanda bahwasanya bangsa Indonesia di ambang senjakala.
Bangsa Indonesia akan “hidup” tanpa jati diri, ibarat onggokan sosok tanpa ruh.
Adapun yang menjadi penyebab dari pernyataan di atas, Mang Usil menunjuk pada “akibat pemimpin yang keminggris’!. Sentilan
Mang Usil merupakan reaksi atas beberapa pidato Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) yang seringkali menggunakan sesuatu konsep atau ‘arahan’ –
ungkapan feodalistik untuk ‘instruksi’ yang militeristik — yang perlu
dijabarkan dengan lebih terang, ia serta-merta menyatakannya dalam bahasa
Inggris, bukan dalam bahasa rakyat (populis) yang ‘akrab’ dengan para ‘kawula
negri’ yang tinggal di pelosok sana Nusantara (Setiawan, 2011 (b): 6).

Kepekaan seorang Presiden SBY dalam hal budaya memang menarik disimak, selain aspek gaya
bahasa. Pernah Beliau mendapat demonstrasi dengan kerbau yang diasosiasikan
sebagai Presiden, dikarenakan pada badan hewan tersebut tertulis
“SBY”. Sebagai seorang Jawa, Beliau tentu berpikir kerbau tersebut
merupakan simbol penghinaan akan perlambang malas dan bodoh dalam tubuh yang
besar. Itulah sudut pandang Jawa. Berbeda dengan budaya Tana Toraja dan
Minangkabau melihat kerbau. Hewan tersebut justru menjadi simbol kemuliaan dan
tolak ukur kekayaan seseorang. Seandainya Presiden SBY mampu menangkis kritik
kerbau tersebut tidak dengan mindset
Jawa, tentulah elegan Presiden SBY menggunakan alibi kerbau versi Tana Toraja dan Minangkabau.

Walaupun bencana nasional ini tidak timbul tiba-tiba di dalam masa rezim SBY atau
rezim-rezim pasca-reformasi sebelumnya. Bencana itu sudah ditanam sebagai bom
waktu oleh rezim militer Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Suharto, yang
dengan kasar hendak, dan sudah sibuk, menumpas kebyinekaan Indonesia untuk
digantikan dengan kemanunggalan Jawa Raya. Dalam hal ini, Sarjana Australia
Keith Foulcher menulis bahwa Pusat Bahasa di Jakarta suka memakai “kosakata Sansekerta dari bahasa Jawa Kromo
sebagai sumber istilah baru. Demikian pula (David T. Hill dan Sen, 2001 & 2005) dan Benedict
Anderson (2000) menganalisis hal yang sama seperti yang dikemukakan oleh Keith
Foulcher mengenai bahasa Indonesia. Barangkali lebih tepat dikatakan bahwa masa
pemerintahan tersebut melakukan pembekuan dan pembiaran melalui anggapannya
sendiri kalau persoalan Indonesia, terutama kebudayaan dianggap sudah selesai.
Benarkah demikian? Kalau benar, mengapa masih muncul persoalan karakter bangsa,
jati diri bangsa dan semacamnya yang saling berkait satu sama lainnya pada saat
ini? Tentulah itu merupakan suatu tantangan ke depan yang masih harus diselesaikan.

Beberapa uraian di atas merupakan persoalan kebudayaan yang tengah dihadapi bangsa
Indonesia, tidak hanya oleh seorang kepala negara melainkan oleh seluruh rakyat
Indonesia. Kebudayaan sebagai produk masyarakat belum mendapat tempat yang
relevan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebudayaan masih belum diberi
porsi yang optimal jika dibandingkan politik dan ekonomi. “Jalan politis terlalu pengap dan
(orang-orangnya) berantem terus, sedangkan jalan ekonomi terlalu memberatkan
dengan kalkulasi untung-rugi
“, tutur Romo Mudji Sutrisno, pengajar
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta (KOMPAS, 21 April 2011, hlm. 5). Maka, kebudayaan adalah jalan utama
menuju peradaban. Peradaban membuat manusia mencintai kehidupan dan menjaga perdamaian.

Mission sacree (misi suci nan mulia) kebudayaan perlu dipahami secara tepat supaya seluruh elemen
masyarakat Indonesia sadar dan menyadari bahwa kebudayaan merupakan suatu
kekuatan yang luar biasa, khususnya dalam pembangunan dan globalisasi kini.
Negara yang maju tidak semata-mata ditunjang perekonomian dan politik yang
maju. Melainkan kebudayaan dan karakter yang melekat kuat menjadi pondasi
perekonomian dan politik banyak negara maju. Jepang merupakan bukti betapa
kebudayaan menjadi adalah alas dasar pembangunan negeri matahari terbit
tersebut. Wajar dan dapat dipahami mengapa kebudayaan nasional di Indonesia
belum mendapat porsi yang maksimal dikarenakan masyarakat belum mengetahui
secara benar sejarah dan bagaimana kebudayaan nasional. Hal itu merupakan salah
satu faktor dominan dalam tantangan kebudayaan nasional Indonesia. Mengetahui
diagnosa problematika kebudayaan nasional menjadi penting untuk mencegah
manusia Indonesia mengidap penyakit krisis identitas (Erikson, 1989).

Uraian ini berusaha menyoroti empat hal, antara lain asal muasal kebudayaan nasional
yang meliputi tonggak-tonggak polemik kebudayaan nasional; pergumulan dua unsur
pembentuk kebudayaan nasional yang menonjol yakni studi kasus Jawa dan Minang;
kebudayaan nasional sebagai cerminan mentalitas bangsa Indonesia; tantangan
kebudayaan nasional dalam era globalisasi, yang terancam dari kebudayaan
komunal menjadi kebudayaan komersil. Setidaknya dengan empat hal di atas,
gelap-samarnya kebudayaan nasional Indonesia dapat menjadi lebih terang dan
berguna bagi pembangunan manusia dan negara Indonesia. Sebab, pepatah
mengingatkan bahwa, ‘intan tetap walau keluar dari mulut anjing sekalipun’. Demikian pula kebudayaan nasional,
meski masih carut marut, ia tetaplah intan.

 

Kebudayaan sebagai Terang dan Nyala Api Berkelanjutan

Sejarah dan kebudayaan bukan sekedar terang dan panas sebagai hasil kobaran nyala dari api unggun sejarah masa lalu
saja. Tapi sejarah dan kebudayaan juga memberi terang dan panas pada kobaran nyala selanjutnya.

Berdasarkan pengalaman empirik, Kebudayaan ialah warisan sejarah (historisch bestimmt), kata pakar sosiologi Ferdinand Julius Tönnies (dalam Setiawan, 2011 (b): 1). Tapi di samping merupakan warisan kebudayaan,
sejarah sekaligus juga merupakan reservoar kebudayaan. Sehubungan ini
Mangkunegara IV (masa pemerintahan 1853-1881) memberi sebuah adagium yang
mengatakan: ‘apèk geni adedamar, ngangsu apikulan warih’. Artinya, mengambil api dengan membawa nyala api, mengambil
air dengan berpikulan air. Hal ini bermaksud agar dalam mempelajari
peristiwa-peristiwa sejarah dan kebudayaan, atau menoleh pada
pengalaman-pengalaman sejarah dan kebudayaan masa lalu, jangan sampai melupakan
pada apa yang hendak dicari. Lebih buruk lagi, jangan dibuat padam api itu,
atau dibuat mati sumber air itu. Tapi sebaliknya, harus menjaga nyala api atau
sumber air itu agar tetap terus menyala atau memancar, dan kalau bisa bahkan
lebih memperbesar lagi kobaran nyala atau pancaran sumbernya. Dalam kearifan
yang sama, karenanya, Bung Karno juga pernah menasihati, agar dalam
memperingati (peristiwa sejarah) sesuatu, jangan kita ambil abunya, tapi ambillah apinya!

Dengan demikian sejarah dan kebudayaan bukan sekedar terang dan panas sebagai hasil
kobaran nyala dari api unggun sejarah masa lalu saja. Tapi sejarah juga memberi
terang dan panas pada kobaran nyala selanjutnya. Kalau tidak ada proses
demikian pastilah tidak akan kita kenal sepatah kata wasiat dari ahli teori
dialektika Herakleitos: panta rhei – segala hal-ihwal terus mengalir. Sejarah selain warisan juga petandoan (tandhu,tandho, tandhon= wadhah air) atau reservoar. Dan dari petandoan yang satu ini diambil api atau airnya,
dengan membawa nyala atau pikulan air, untuk menciptakan petandoan-petandoan
baru, sementara itu petandoannya yang lama tidak menjadi kering atau padam.
Dalam hal ini istilah petandoan atau reservoar lebih condong tepat digunakan
untuk menyebut kebudayaan.

Dalam kobaran api sejarah dan dinamika kebudayaan, manusia mengambil terus-menerus
api (bukan abu) atau air yang terus mengalir untuk menyemai, menumbuhkan terus
kebudayaan sendiri menuju suatu peradaban yang semakin tinggi dan meluas.
Seiring berjalannya waktu, secara historis kebudayaan kita semakin tumbuh
berkembang dan meluas serta saling merajut membentuk kebudayaan nasional, Indonesia.

 

Tragedi Budaya Nasional yang Berpengaruh pada Kebudayaan Nasional

Dalam masa pemerintahan Republik Indonesia dibawah kekuasaan rezim militer Suharto, yang tentu militeristik
dengan gaya komandonya, tidak sedikit para seniman dan sastrawan yang
diasingkan ke Gulag Indonesia, yaitu Pulau Buru. Di antara para sastrawan itu,
sebut saja misalnya, Pramudya Ananta Toer, Banda Harahap (Hr. Bandaharo), Rivai
Apin, Bujung Saleh Puradisastra, S. Anantaguna, dan banyak lagi yang lain. Dari
mereka semua hanya Pramudya saja yang menerima ‘privilese’ (hak istimewa) untuk
meneruskan profesinya sebagai penulis. Artinya setiap hari seluruh waktunya
dilewatkan untuk menulis dan hanya menulis, berbeda dengan kawan-kawan penulis
lainnya yang harus mengganti pena dan kertas dengan pacul dan arit, serta alat
kerja yang lain. Tentu saja mereka itu dengan sembunyi-sembunyi tetap menulis,
karena menulis adalah nafas hidup dan detak jantung mereka sehari-hari
(Krisnadi, 2011). Bagi mereka itu segala bentuk alat tulis merupakan
‘konsinyes’ paling berat, yang kalau sampai tertangkap basah bisa berakibat
maut, sebagaimana yang dialami seorang tapol Unit XV Indrapura bernama Munajid.
Ia mati disiksa karena tertangkap basah ketika sedang membaca “KOMPAS”.

Sebuah persoalan yang menarik untuk dikaji lebih jauh dari dimensi historis adalah apakah peristiwa “pengamanan”
sebagian seniman-budayawan Indonesia tersebut secara berangsur-angsur telah
menahan, menghentikan, bahkan mungkinkah juga dikatakan sebagai mematikan
pertumbuhan kebudayaan nasional itu sendiri? Hal ini mengingat berbagai seni,
baik film, sastra novel misalnya dikemudian hari hingga kini menjadi sepi dan “sepo” kalaupun ada. Dalam hal ini tidak
ketinggalan pula berbagai sinetron di layar kaca yang mengudara di Indonesia.

 

Selamat Datang Kebudayaan Nasional

Pada suatu hari S. Anantaguna memberi Hersri Setiawan tiga buah bukutulis yang ketiga-tiganya sudah bertulis
penuh. Pada buku tulis pertama terbaca tajuk tulisannya itu: Kebudayaan Nasional.  Membaca pernyataan tajuk ini
Hersri Setiawan tertegun, bertanya pada diri sendiri: mengapa “kebudayaan
nasional”? Karena selama ini, sebagai “Orang LEKRA” (Lembaga Kebudayaan Rakyat)
Hersri Setiawan dan aktivis LEKRA hanya bersibuk dengan “Kebudayaan Rakyat”.
Juga selama beberapa tahun malang-melintang di berbagai negeri Asia-Afrika,
untuk urusan sastra Asia- Afrika, Hersri Setiawan tidak pernah mendengar dua
patah kata yang ibarat sudah menjadi kata-majemuk itu, Kebudayaan Nasional, diikuti
dengan sepatah kata sebutan yang menyatakan negeri atau bangsa tertentu
(Setiawan, 2004 (a)).

Apakah itu “kebudayaan”?
“Kebudayaan” ialah “hasil keseluruhan daya-upaya manusia secara sadar untuk
memenuhi setinggi-tingginya kebutuhan hidup lahir dan batin” – begitulah
kira-kira Ki Hajar Dewantara dalam prasaran yang dikemukakannya di depan
Musyawarah Kebudayaan Nasional I di Magelang tahun 1948.  Sedikit tentang musyawarah tersebut. Istilah
Musyawarah Kebudayaan Nasional ini disebut pula dengan Kongres Kebudayaan (KK)
diantaranya 1948 ini. Dalam KK tersebut pada intinya memperhatikan dua hal: 1).
Bagaimanakah caranya mendorong kebudayaan kita supaya dapat maju cepat dan 2).
Bagaimana caranya agar kebudayaan kita jangan sampai terus bersifat kebudayaan
jajahan, akan tetapi supaya menjadi suatu kebudayaan yang menentang tiap-tiap
anasir cultureel imperialisme. Gagasan untuk menyelenggarakan KK yang sangat strategis ini kemudian diambil
alih oleh Kementerian Pengajaran, Perdidikan dan Kebudayaan (Supardi, 2007: 13).

Terfokus kepada persoalan kebudayaan nasional. Lalu, apakah itu “nasional”? Arti kata
“nasional” tentu saja “kebangsaan”, yang kedudukannya dalam rangkaian sepatah
“kata mejemuk” itu untuk memberi keterangan atau sifat pada kata “kebudayaan”
tersebut. Sifat yang bagaimana? Sifat sebagaimana dinyatakan oleh kata yang
menyusul, misalnya “Kebudayaan Nasional Indonesia”. Mengapa tidak “Kebudayaan
Indonesia” saja, seperti juga “Kebudayaan Tiongkok” atau “Kebudayaan Aljazair”
dan tidak “Kebudayaan Nasional Tiongkok”, atau “Kebudayaan Nasional Aljazair”?
Mengapa Indonesia merasa perlu harus menegaskan dengan predikat ‘nasional’,
barangkali mencerminkan proses panjang penjadian (menjadikan) dan pengakuan
suku-suku bangsa di Indonesia dalam dan sebagai satu bangsa dan satu tanah air.

Menurut pendapat Hersri Setiawan (2011 (b):2) ada dua alasan mengapa predikat
“nasional” harus dicantumkan di sini, yaitu alasan keluar sebagai pernyataan
kemandirian identitas dan alasan kedalam sebagai pernyataan tentang identitas
yang beragam, atau keberagaman dalam identitas. Keluar untuk menegaskan, bahwa
Indonesia bukanlah Malaysia walaupun sebagai bangsa mereka satu rumpun; dan
kedalam untuk menegaskan, bahwa Indonesia ialah suatu kesatuan yang beragam.
Karena itu dimengerti dan diterima, kembali pada pendapat  K.H. Dewantara, bahwa kebudayaan nasional
ialah “puncak-puncak kebudayaan daerah”. Inti pembicaraan dalam hal ini ialah
tentang hubungan antara kebudayaan nasional dan kebudayaan lokal, hubungan
antara Indonesia dan daerah-daerah. Hal ini kiranya secara simbolik diungkapkan
dengan BHINNEKA TUNGGAL IKA sebagaimana dalam lambang negara burung garuda.

Perihal kemunculan istilah kebudayaan nasional, gambaran yang menarik dikemukakan oleh Kleden (1987:217)
menunjukkan bahwa kelahiran kebudayaan nasional tidak bisa lepas dari aspek
kesadaran gerakan kebangsaan dan kesadaran akan kebudayaan baru. Keduanya lahir
beriringan di kalangan terpelajar Indonesia di Eropa. Cita-cita kemerdekaan
Indonesia baik secara politik maupun cita-cita pembaharuan masyarakat
masyarakat dan kebudayaan yang tumbuh bersama sangat sulit dipisahkan.

Kemerdekaan secara politik sebagai pintu awal untuk lebih jauh meraih kemakmuran,  kesejahteraan masyarakat dan perkembangan kebudayaan yang kemudian diberi istilah kebudayaan nasional. Dengan demikian jelas bahwa
kebangkitan kebangsaan Indonesia atau nasionalisme Indonesia tumbuh seiring
dengan, atau sekaligus tumbuh pula kebudayaan nasional, Indonesia yang akan
membentuk kepribadian bangsa. Hal ini merupakan sebagian kecil insiden yang
membentuk manusia Indonesia sebagai sebuah bangsa beserta kebudayaannya.

 

Tonggak-tonggak Polemik Kebudayaan Nasional

Sebelum membahas masalah tonggak-tonggak “polemik kebudayaan” Indonesia, barangkali
perlu juga diperhatikan sejak dari masa pencarian bentuk dan identitas, masa
pra-penjadian, masa penjadian (Kartodirdjo, 1999: 239-241  & Miert, 2003). Jika pembagian proses
pembagian zaman penjadian Kebudayaan Nasional itu ditunjukkan dalam angka tahun,
dapat dibagi sebagai berikut: (1) akhir abad ke-19 sampai tahun 1905; (2) tahun
1905 sampai tahun 1928; (3) tahun 1928 sampai tahun 1945; (4) tahun 1945 sampai
tahun 1965/66; dan (5) tahun 1965/66 sampai sekarang. Hal ini merupakan sebuah
pembabagan sejarah budaya yang menarik dan saling tak terlepaskan dari aspek
lainnya –penjajahan-globalisasi-politik- yang mewarnai pembentukan kebudayaan
nasional, Indonesia.  Kongres Kebudayaan setelah Indonesia merdeka untuk pertama kali adalah tahun 1948 tersebut dan
bersambung lagi pada tahun-tahun 1951, 1954, 1957, 1960, dan berlanjut 1991 dan
2003 setelah berhenti sekian lamanya (Supardi, 2007).

Sumpah Pemuda pada tahun 1928 tidak hanya sekedar peristiwa budaya. Melainkan lompatan
yang melewati sekat suku, agama, dan ras. Menurut filsuf Eko Armada Riyanto
(2011: 123-141), para pendiri bangsa Indonesia telah lulus dalam pergumulan
politik identitas, khusunya politik primordial. Kebudayaan nasional merupakan
modal sekaligus investasi yang berprospek cerah, khusunya dalam hal integrasi
Indonesia (Kuntowijoyo, 2006: 153-168). Meskipun pada perkembangannya, pada
masa orde lama slogan ‘jati diri bangsa’ dan di era orde baru muncul istilah
‘kepribadian nasional’ (Wardaya, 1999 (a) & 2001 (b)), tentu tidak
mengurangi substansi kepribadian nasional yang secara hegemonik hendak disetir
penguasa.

Tonggak-tonggak polemik kebudayaan
selanjutnya, polemik tahun 1945-1950 dan 1950-1965, pada hemat penulis
merupakan kelanjutan belaka dari polemik masa pencarian yang berlangsung di
sepanjang tahun 1930-an sampai tahun-tahun “perang kemerdekaan“. Jika dalam
tahun-tahun tersebut akhir ini yang terjadi, beberapa pihak, saling adu kiblat ruh atau akar  jatidiri, maka pada masa
antara 1945-50 mengerucut pada perbenturan nilai antara kaum “humanis
universal” vis-á-vis “humanis patriotik”, antara kaum humanis yang tak
bertanah-air dan tak berkebangsaan – karena pengakuannya sebagai “anak
kebudayaan dunia” – vis-á-vis kaum humanis patriotik dan nasionalis. Akhirnya
perbenturan ideologi itu semakin meruncing di dalam alam Demokrasi Terpimpin,
yang menggejala dalam pertentangan tajam antara kaum Manikebu (Manifest
Kebudayaan) vs. kaum Nasakom (Nasionalisme, Agama, & Komunisme), khususnya
para pendukung LEKRA.

Pada akhir abad ke-19 kaum borjuasi negeri-negeri Eropa Barat, dalam hubungan dengan
Indonesia khususnya Belanda, telah berkembang sampai puncaknya. VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie,
Serikat Dagang Belanda untuk Hindia Timur) ‘menyerahkan’ wilayah kekuasaannya
atas Hindia Belanda kepada pemerintah Belanda. Watak kapitalisme dagang atau
kapitalisme tua yang berubah menjadi kapitalisme finansial atau kapitalisme
modern tentu saja memerlukan tata-kelola pemerintahan kolonial yang baru.
Tenaga buruh berkemeja-putih diperlukan untuk menopang jalannya pemerintahan.
Apakah dunia pendidikan kita saat ini juga masih sekedar mencetak tenaga
berkemeja putih tersebut bagi kalangan pemerintah dan perusahaan semata? Semoga
saja tidak. Sekolah-sekolah untuk pribumi lalu didirikan, terutama di Jawa  dan Sumatra karena di kedua pulau-pulau
inilah eksploitasi dan eksplorasi kolonial lebih didahulukan. Menjadi tantangan
kini pendidikan membebaskan sanak bangsa sendiri lebih mandiri, atau menjadikan
mereka sebagai ambtenaar (pangreh praja) semata.

Pada akhir abad ke-19 ini di Belanda tampil kaum etikus, kaum adabiyah, yang membela pendirian politik ‘ereschuld’ (utangbudi) pada rakyat jajahan. Kebijakan ini tentu saja ‘sekedar’ kritik terhadap cara penindasan dan
penghisapan kolonialisme tua. Adapun tujuannya tetap, kalau tak hendak dikatakan  justru, untuk lebih
mengintensifkan strategi politik dan ekonomi kolonial itu. Kebijakan kolonial kaum adabiyah ini linea recta bisa
disejajarkan dengan kebijakan pimpinan Inrehab (Instalasi Rehabilitasi) Pulau Buru pada tahun 1974 dalam memanfaatkan tenaga kerja tapol, antara lain misalnya, pengubahan dari sistem kerja harian menurut ‘man-day’ menjadi sistem kerja borongan harian. Sistem kerja
borongan harian lebih menekan pekerja dan lebih menguntungkan pemberi pekerjaan (Krisnadi, 2001 dan Setiawan, 2004 (a)).

 

Jawa dan Minang di Beranda Kebudayaan Nasional

Dapat diperhatikan: pada tahun 1862 rel kereta-api pertama – demi alasan militer dan ekonomi — diletakkan untuk
menghubungkan pelabuhan laut Semarang dengan lumbung hasil bumi daerah Vorstenlanden (Wilayah Kerajaan); tahun
1886 rel kereta-api pertama Aceh-Sumatra Utara dan diperpanjang lima tahun
kemudian sampai ke Sumatra Barat. Pada sisi kebudayaan: VSTP (Vereniging van Spoor- en Tramweg Personeel),
berdiri 1908, sebagai gerakan atau organisasi sosial modern menggantikan
gerakan-gerakan sebelumnya yang berbasis tradisi. VSTP inilah yang merupakan
‘lahan’ bagi Henk Sneevliet merekrut sementara aktivis ormas ini (ia sendiri
juga anggota) kedalam ISDV yang didirikannya (Indiesche Sociaal Democratische Vereeniging; Perhimpunan Sosial
Demokrat Hindia Belanda). Pada tahun 1907 terbit (sampai 1912) surat-kabar berbahasa Melayu “Medan Prijaji”,
dipimpin oleh R.M. Tirto Adhisoerjo; sementara itu juga terbit “Soenda Berita” (1903-1905), dan ‘Poeteri Hindia” (1908) – kedua-duanya dipimpin oleh “Sang Pemula” itu juga.
Perhatikan juga dalam nama-nama tiga surat-kabar tersebut: tertangkap kata
pernyataan status sosial “Prijaji”, kemudian identitas primordial “Soenda”, dan
akhirnya identitas baru “Hindia”. Dalam jaman yang sama di Padang Sumatra
Barat, Siti Rohana Koedoes pada tahun 1912 tampil sebagai perempuan pertama,
memimpin surat-kabar “Soenting Melajoe”; dan pada tahun 1911 mendirikan “Amai Setia
untuk menghimpun dan pemberdayaan para pengrajin perak dan sulam.

Uraian sekilas di atas sekaligus sudah menunjukkan betapa “Jawa” seakan-akan berlomba dengan “Minang”: di sana
ada Rohana Kudus, di sini ada Kartini; di sana ada Sutan Takdir Alisjahbana,
tapi di samping itu juga ada Engku Muhammad Syafei , dan di sini ada KH
Dewantara; di sana ada Moh. Hatta dan di sini ada Soekarno.

Berkaitan dengan itu, bahwasanya di tengah ranah kebudayaan bangsa dan negara baru yang bernama Indonesia, ada dua
pilar kebudayaan utama Jawa dan Minang. Walaupun demikian tampilnya dua
fenomena kebudayaan itu tidak perlu dipertentangkan dan memang tidak ada
pertentangan antara yang dua tersebut. Jika di sepanjang tahun 1930-an terjadi
polemik besar kebudayaan, khususnya dalam persona dua tokoh besar Sutan Takdir
Alisjahbana (STA) vis-á-vis Ki Hajar Dewantara (KHD), namun polemik itu
berlangsung tetap dengan semangat Tiga Butir Sumpah Pemuda 1928, dan tetap
dalam kerangka Bhineka Tunggal Ika. Dasar yang menimbulkan terjadinya polemik
ialah pencarian kiblat identitas kebudayaan nasional sebagai bangsa baru.
Menjadi permenungan, mungkinkah persoalan identitas kebudayaan nasional ini
kini mencuat ke dalam isu karakter bangsa.

Sutan Takdir berkiblat ke Barat, yaitu pada kaum adabiyah, dan dalam hal sastra atau kepengarangan pada Angkatan 80-an atau
De Tachtigers”; sementara Ki Hajar pada ke-Indonesia-an yang sampai saat itu masih belum terwujud. Di antara dua
“ekstremitas” STA vs KHD itu perhatikanlah tokoh-tokoh Sanusi Pane dan Mohamad
Yamin, yang masing-masing menawarkan India Kuno dan Jawa Kuno sebagai kiblat
kebudayaan Indonesia Baru. Tapi ada juga seorang tokoh Sumatra Barat berasal
Kalimantan Barat, Engku Muhamad Syafei, pendiri INS (Institut Nasional)
Kayutanam (1926). Mirip dengan Ki Hajar Dewantara, Engku Muhamad Syafei tidak
bicara tentang Barat atau Timur, tetapi tanpa diucapkan ia menekankan visinya
pada Kemanusiaan dan dalam kaitannya dengan misi pendidikan ia bertolak dari
“Bakat” seseorang – sebagaimana halnya Taman Siswa Ki Hajar Dewantara (1922) pada “Kodrat Alam”.

 

Kekayaan Multikulturalisme dalam Kebudayaan Nasional

Ketika membaca rumusan KH Dewantara tentang Kebudayaan Nasional sebagai “puncak-puncak kebudayaan daerah-daerah”,
sejurus terpana dan bertanya-tanya. Apakah Kebudayaan Nasional ialah berupa
motif warna-warni yang terdapat di seluruh nusantara, dan kemudian dirajut
menjadi semacam sehelai “kain nasional”? Sehelai kain bertambal-tambal indah
seperti Antakusuma, kutang sakti Gatotkaca: ada yang berupa tambalan berwarna
Seudati, Lenong, Serimpi, Janger, Cakalele … dan lebih dari duaratus “helai
kain tambalan” lainnya? Tidak! Dengan kata rumusannya itu K. H. Dewantara
hendak mengatakan sama seperti yang diucapkan oleh Bung Karno. Indonesia ibarat
sebuah Taman. Taman Nasional. Di dalam Taman itu tumbuh aneka warna
bunga-bunga. Aneka tumbuhan bunga-bunga inilah warna-warni lokalitas
sukubangsa-sukubangsa itu. Karena itu, kata Bung Karno lebih lanjut: Taman
Nasional akan subur indah apabila aneka warna bunga-bunga sukubangsa itu
terus-menerus dipupuk agar terus selalu bertumbuh dan berkembag.

Semua unsur sukubangsa, semua ragam
daerah, corak budaya local mendapat tempat dan rawatan yang sama sebagai
tiang-tiang penyangga sebuah bangunan yang satu dan sama: Indonesia. Ada sebuah
lagu populer, yang sangat populer di kalangan masyarakat pada tahun-tahun awal
kemerdekaan. Lagu itu berjudul “O”,
tidak diketahui siapa penggubahnya, tapi beginilah lirik lagu itu:


O, amat banyak

                        amat banyaklah warganya

                        satu hanya satulah jumlahnya

                        satu bangsa satu bahasa

                        satulah tanahair: Indonesia!

Itulah Indonesia. Amat banyak warganya, tapi hanya satu jumlahnya! Maka camkanlah kata-kata Bung Karno di
atas. Tamansari Indonesia hanya akan indah, bila di dalamnya bunga-bunga
sukubangsa tumbuh subur; sebaliknya bunga-bunga sukubangsa akan indah subur,
apabila tumbuh di dalam tamansarinya Indonesia. Analogi dengan ‘adagium’ itu
kiranya penulis bisa mengatakan, bahwa Bahasa Nasional – Bahasa Indonesia –
akan menjadi bahasa yang tumbuh sehat, di atas bahasa-bahasa daerah yang tumbuh
dengan sehat pula.

 

Kekuatan dalam Tantangan Kebudayaan Nasional

Ke depannya, kebudayaan nasional masih menghadapi banyak PR (pekerjaan rumah). Pada era globalisasi ini,
tantangan aroma kebudayaan nasional yang komunal dihadapkan pada kebudayaan
komersil. Bahkan, konsep miskin itu menjual telah dipraktekkan dalam
tayangan-tayangan televisi dewasa ini. Seperti program KETIKA AKU MENJADI di
Trans TV; BEDAH RUMAH di RCTI; UANG KAGET di RCTI; RUNAWAY ETHNIC di Trans TV;
TOLONG di SCTV. Sebagai cerminan budaya, sudahkah pola tersebut membebaskan
masyarakat Indonesia untuk lebih maju dalam melangkah. Ataukah semakin terjebak
dalam pola berpikir instant. Belum lagi, dominasi konvensional politik dan
ekonomi masih menjadi indikator menilai suatu tingkat kesejahteraan hidup
rakyat. Padahal, kekayaan budaya Indonesia begitu beragam dan dapat menjadi
modal sosial bagi segenap tumpah darah bangsa.

Tak heran muncul ketimpangan perspektif berpikir, seperti pada era Orde Baru
masyarakat Papua pedalaman yang memakai koteka (lelaki) dan bertelanjang dada
(wanita) dipandang sebagai pihak yang perlu diberi sentuhan
“peradaban”. Caranya, dengan diberi baju dan celana agar tidak
telanjang (primitif) meskipun mereka tidak mengenal sabun. Alhasil, proyek
“sentuhan peradaban” ini gagal. Bagaimana tidak, mereka tidak tahu
cara mencuci dan mengurus pakaian tersebut. Dari studi kasus di atas, dapat
dilihat bahwa kebudayaan, baik secara maupun secara fisik maupun non fisik,
tidak merubah apapun. Hal tersebut juga merupakan kegagalan indikator ekonomi.
Tidak dapat serta merta masyarakat yang berbudaya sederhana dikategorikan
misikin. Perlu ditinjau ulang apakah indikator ekonomi itu satu-satunya ukuran
penananda level kehidupan sejahtera yang lebih baik

Terlepas dari kesemuanya, kebudayaan nasional tetaplah intan. Sebuah intan yang memiliki
kekeayaan modal sosial. Hal ini adalah kekuatan dalam menghadapi tentangan di
masa yang akan datang. Kebudayaan nasional adalah proses yang tak berkesudahan.
Tidak mengenal kata final. Adalah hal yang amat menarik untuk mengatakan bahwa
kebudayaan kita, Kebudayaan Nasional Indonesia, senantiasa bergerak dinamis
antara kebudayaan barat dengan kebidayaan timur; antara kebudayaan priyayi
dengan kebudayaan rakyat; kebudayaan penjajah dengan kebudayaan terjajah dan
mungkin masih dapat muncul yang lain lagi, dimana kesemuanya saling
mempengaruhi dan membentuk kita sebagai sebuah bangsa yang menuju pada sebuah
kebudayaan nasional, Indonesia. Hal ini semua membentuk kita saat ini disamping
persoalan kebudayaan yang ada di Nusantara. Kiranya sangat perlu sebagai
manusia Indonesia menemukan budaya ibu yang sebenarnya tanpa disadari menjadi
induk dari berbagai budaya sukubangsa yang turut membentuk bangsa ini, Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Rujukan

 

Anderson, B. R. O’G. 2000. Kuasa Kata: Jelajah Budaya-budaya Politik di

Indonesia. Terjemahan oleh Revianto Budi Santosa.Yogyakarta: Mata Bangsa.

Dewantara, K. H. 1948. Makalah K. H. Dewantara pada Kongres
Kebudayaan Indonesia I
, Magelang, tidak diterbitkan.

Erikson, E. H. 1989. Identitas dan Siklus Hidup Manusia.
Terjemahan oleh Agus Cremers. Jakarta: Gramedia.

Hill, D. T. 2005. Arah Perkembangan
Bahasa Indonesia. Jawapos.com, 7
November 2005.

Hill, D. T. & Sen, K. 2001. Media, Budaya, dan Politik di Indonesia.
Terjemahan oleh Sirikit Syah. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.

Kleden,
I. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik
Kebudayaan
. Jakarta: LP3ES.

KOMPAS. Kamis,
21 April 2011. Hlm. 5. Peluncuran Buku, Kebudayaan jadi Jalan Utama pada
Peradaban.

KOMPAS. Rabu 27 Juli
2011, hlm. 6, Mang Usil.

Krisnadi,
I. G. 2001. Tahanan Politik Pulau Buru
(1969-1979)
. Jakarta: LP3ES.

Miert, H. van. 2003. Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan
Gerakan Pemuda di Indonesia, 1918-1931
. Terjemahan oleh Sudewo Satiman.
Jakarta: Hasta Mitra, Pustaka Utan Kayu, dan KITLV Jakarta.

Riyanto, E. A. 2011. Berfilsafat Politik. Yogyakarta:
Kanisius.

Setiawan, H. 2004 (a). Memoar Pulau Buru. Magelang:
Indonesiatera.

Setiawan, H. 2011 (b). Seputar Masalah Kebudayaan dan Kebudayaan
Nasional
. Tulisan tidak diterbitkan.

Suwondo, T. & Mardianto, H. 2001. Sastra Jawa Balai Pustaka 1917-1942.
Yogyakarta: Mitra Gama Widya.

Supardi, N. 2007. Konggres Kebudayaan (1918-2003). Yogyakarta: Ombak.

Kartodirdjo, S. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional, Dari Kolonialisme sampai Kolonialisme
Jilid 2.
Jakarta: Gramedia.

Kuntowijoyo.
2006. Budaya dan Masyarakat.
Yogyakarta: Tiara Wacana.

Wardaya,
B. T (Ed.). 1999 (a). Menuju Demokrasi.
Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.

Wardaya, B. T (Ed.). 2001 (b). Menuju Demokrasi: Politik Indonesia dalam Perspektif Sejarah.
Jakarta: Gramedia.



[1]
Penulis merupakan kombinasi yang sinergis antara ahli budaya (Hersry Setiawan),
mahasiswa sejarah (FX Domini BB Hera), dan antropolog pada Universitas Negeri
Malang (Irawan)